Di jagad pertarungan dominasi identitas antara perempuan dan laki-laki, perebutan makna dan simbol kultural berdiri di atas tumpukan kebejatan dan kebengisan manusia. Aroma hawa nafsu tercium dari kiri kanan artefak kehidupan manusia modern dibalut gelora nafsu erotis tubuh 'sang perempuan'. Perempuan cukup sempurna menjadi lakon sebagai prisai si laki-laki. Mengapa perempuan tidak tampil apa adanya? Justru menjadi iblis pengoyak peradabah Ilahiyah.
Saya bisa saja dituduh menulis di atas tumpukan ideologi maskulinitas bahkan seorang misoginis, untuk mempertahankan benteng kekuasaan dari serbuan hujatan, sebab perempuan dalam perlawanannya yang sengit, pasti ingin keluar dari belenggu ketertidasan ribuan tahun. Dendam historis perempuan sejak dituduh sebagai penyebab turunnya manusia dari singgasana surga turut menentukan gerak sejarah patriarkal.
Tapi, siapakah sebenarnya yang berkuasa? Telusuri terus tulisan ini sampai menemukan jawaban, bahwa perempuan ......
perempuan dan Seks. Adalah dua kata sarat makna. Seks adalah sesuatu yang natural dan kodrati dalam diri manusia. Seks bekerja secara naluriah setiap kali syaraf mata menangkap stimulus tertentu yang memiliki kualitas dan kualifikasi erotik. Seluruh tingkah laku dan karakter manusia dipengaruhi oleh identitas seks atau jenis kelamin (gender).
Dan perempuan adalah identitas seksual paling indah dalam konstruksi budaya maskulin/patriarkal. Kepadanya mata tertuju untuk menyalurkan libido sebagai energi atau kekuatan seksual. Perempuan adalah teka-teki yang belum terjawab tuntas, menyangkut kekuatan rangsangan yang dimilikinya.
Kebudayaan Media. Media massa (cetak maupun elektronik) dalam persekongkolan dengan berahi mengumbar tanda-tanda. Bujuk-rayu berahi dan feminitas menurut Baudrillad tidak dapat dihindarkan dari sisi lain seks, makna dan kekuasaan. Perempuan adalah bujuk-rayu pamungkas dari kepekaan seks dalam media yang dibumbui dengan ketelanjangan perempuan. Sebagai kekuatan produksi seksualitas tak lain sebagai strategi bujuk rayu melalui tubuh
Libido adalah istilah, yang semula dipergunakan oleh para psikoanalis, dengan artinya yang biasa, yaitu hasrat keinginan seksual, tetapi kemudian hari dengan arti yang sangat umum, yaitu dorongan (impuls) atau "energi" vital.
Jacques Lacan, seorang psikoanalis menggambarkan libido sebagai "suatu kwantitas yang tidak kita ketahui bagaimana akita mengukurnya, yang sifatnya tidak kita ketahui, namun sekaligus juga kita asumsikan selalu ada di sana. Pandangan kuatitatif ini memungkinkan kita untuk menggabungkan variasi dalam pengaruh-pengaruh kualitatif, dan membeikan sejumlah koherensi terhadap cara di mana pengaruh-pengaruh tersebut saling menggantikan satu sama lain .... pandangan tentang libido merupakan suatu bentuk unifikasi bagi bidang pengaruh psikoanalisis".
perempuan untuk periklanan. Tanda-tanda tersebut menjadi ukuran imajinasi manusia dan makin lama membentuk kekuatan budaya birahi (nalar seksual).
Nalar Seksual. Seperti ide 'episteme' Foucault yang diambil dari Nietzsche, seks adalah ukuran moral baru masyarakat. Nalar seksual seperti klaim Baudrillard mengikuti derap langkah manusia modern yang dibentuk oleh kekuatan media massa. Televisi adalah salah satu dari artefak kebudayaan postmodern yang wajib dituduh menularkan epidemi seks itu. Nalar seksual di puncak ekonomi libido paling tinggi harus tersalurkan, tak peduli berapapun yang harus dibayar. Bahwa keinginan untuk memiliki barang adalah puncak orgasme dan akhir dari serentetan proses pertandaan 'bujuk rayu' berahi.
Ideologi Massa. Budaya massa salah satunya dibentuk oleh nalar seksual dari campuran adonan tubuh dan berahi perempuan yang bisa dinikmati oleh ribuan pasang mata manusia dalam tontonan televisi. Itulah kenikmatan yang dicari oleh penikmat rangsangan dalam tegangan erotis. Massa terhipnotis oleh bujuk rayu berahi dan menunggu pelepasan hasrat seksual. Kekuatan media cukup ampuh menularkan energi tegangan erotik perempuan tepat di jantung setiap manusia. Tampilan erotik media adalah perangsang ampuh energi libido yang menarik siapapun.
Simbolisme Perempuan. Apa yang anda nikmati dari perempuan? Struktur simbolik perempuan dalam budaya media bisa digambarkan seperti kedudukan Piramid dalam masyarakat Mesir. Ia bagai sentrum tata surya peradaban modern. Sangat kuat simbolisme perempuan sebagai penanda sumber imajinasi seksual laki-laki. Apa artinya wajah, buah dada, perut, pinggul, vagina, kulit, tangan dan kaki perempuan. Serangkaian pananda-pananda yang memiliki kekuatan patanda. Simbolisme tubuh dibentuk oleh serangkaian pendalaman permainan citra sosial. Ada kategori dan syarat seorang perempuan sensual yang mampu menjual citra birahinya. Seperti dalam pornografi, perempuan diberi gaya atau kekuatan seksual yang cukup memuaskan nan menggairahkan. Perempuan dibentuk dan membentuk dirinya menuju klimaks kepuasan seksual.
Kekuasaan perempuan. Siapakah yang berkuasa? Mengutip pernyataan Baudrillard "berahi mewakili penguasaan alam raya simbolis, sedangkan kekuasaan hanya mewakili alam raya nyata". Kekuasaan berahi lahir lari kekuatan feminin yang mewakili struktur kehidupan. Kekuatan simbol atau tanda-tanda yang terfeminisasi menyiratkan pengumbaran tubuh perempuan sebagai kekuatan tunggal nan strategik untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Di mana-mana (kiri/kanan, atas/bawah) kekuasaan tubuh perempuan
Masyarakat massa digambarkan sebagai individu-individu atom akibat runtuhnya peran lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat sebagai akibat meledaknya industrialisasi dan urbanisasi. Dalam kondisi ketika tidak ada lagi kepastian psikologis, moral dan sosial.
Dalam teori yang diajukan Freud, kenikmatan lebih bersifat mekanistik, dinamis, hidraulis. Kenikmatan merupakan produk dari sebuah pelepasan tegangan, yang identik dengan rangsangan, stimulasi dan bahkan identik dengan sensasi. Freud dengan jujur mengakui bahwa manusia adalah pencari dan penikmat rangsangan, terutama dalam tegangan erotis. Intensitas kenikmatan sebanding dengan kuantitas tegangan yang dilepaskan. Semua kenikmatan yang kita rasakan dari rangsangan adalah bersifat antisipatif.
adalah kekuatan penunduk mengalahkan kekuatan apapun. Coba lirik iklan, televisi, video klip, tabloid, majalah, koran sampai internet menyuguhkan kekuasaan tubuh perempuan dalam permainan simbolik dari tanda, yang ditujukan terutama kepada laki-laki sebagai konsumen.
Berkuasakah perempuan? Freud percaya bahwa perempuan adalah mahluk rendah yang bersifat pasif, masokistis, iri terhadap laki-laki, kurang rasional, dan mempunyai super ego yang lebih lemah. Lalu datanglah Lacan menunjuk adanya "Tatanan Simbolis" yang mendasari tatanan realitas semesta. Tatanan simbolik itu adalah kekuatan bahasa patriarkal phallus bapak, maka perempuan ter-kebiri secara biologis dan keluar dari pertarungan identitas dunia bahasa dan wacana phallus yang represif.
Sebenarnya perempuan memiliki kesempatan untuk keluar dari penindasan budaya patriarki. Mereka kurang menyadari bahwa kekuatan simbolik tubuh dan berahi perempuan memiliki kekuatan penunduk. Yang perlu dilakukan-seperti yang telah dirintis oleh kebanyakan aktivis feminis-melalui praktek menulis feminin (produksi wacana dan bahasa feminin) untuk menghancurkan kealamiahan mitos perbedaan seksual yang dikonstruksikan Freud dan Lacan. Tetapi perempuan sebenarnya terjebak dalam lingkaran setan pananda-pananda yang dibuatnya sendiri. Perempuan tidak melakukan perlawanan pada dominasi patriarkal, tapi justru melawan tubuhnya sendiri yang selalu kekurangan pananda (narsisisme).
Tubuh Erotis. Serangkaian penanda tubuh perempuan lahir sebagai sosok penggoda. Tak letih menggoda, merayu dan menjual tubuh. Tubuh dipoles, dibentuk, direkayasa atas pesanan yang digoda. Seakan tubuhnya tak menarik tanpa sentuhan teknologi modern. Hidung dimancungkan, alis dicukur, bulu mata dilentikkan, kulit dihaluskan, bau badan dilenyapkan, buah dada ditonjolkan, perut diratakan dan pinggul yang dibuat lebih berisi. Sosok perempuan penggoda adalah subjek sekaligus objek. Tubuh perempuan penggoda sekedar objek seks yang menggairahkan tapi mambius dan menerkan siapapun. Tubuh erotis adalah pengikat hasrat. Perempuan tak memiliki tubuhnya, tak juga hasratnya. Kuasa adalah pemegang kendali tubuh.
Tubuh adalah investasi dalam konstruksi budaya masyarakat kapitalis yang hedonis. Perempuan adalah pemuja tubuh sendiri. Banyak perempuan kurang percaya diri dalam tubuh yang kekurangan tanda-tanda, atau tanda ketinggalan jaman, lalu menemukan tubuhnya semakin erotis, semakin menantang. Hanya tubuh erotis yang bisa dijual oleh perempuan penggoda, tak ada bedanya dengan seorang perempuan pelacur.
Erotisme dan Feminisasi Media. Tak bisa dipungkiri bahwa feminisasi media berhubungan erat dengan merebaknya budaya konsumerisme hedonis. Apa hubungannya? Antara feminisasi media dan budaya konsumerisme. Feminisasi media ditunjang adanya tubuh perempuan penuh tanda-tanda erotis. Berahi selalu hidup dalam deru nafas erotisme tanda-tanda. Barang objek konsumsi sebenarnya tidak erotis, hanya permainan kode atau citra dan kelihaian mempengaruhi emosi konsumen.
Kepercayaan diri ditemukan dari citra diri yang menggairahkan. Sikap narsistik (pemuja tubuh) untuk menjaga citra kecantikan tubuh dalam pekerjaan. Tanpa kecantikan perempuan bertubuh tak layak jual. Ingat bahwa sekarang nilai tukar dan nilai guna dikalahkan oleh nilai tanda dan nilai simbol. Kecabulan tubuh dalam media tak menuntut energi banyak untuk berfantasi seks. Fantasi seks bahkan menghilang, sebab tersedia dengan bebas dalam iklan sabun mandi dan majalah seks murahan.
Perempuan menggerogoti media sebagai proses feminisasi bahkan laki-laki (Metro Seksual) terkena imbas, tak segan masuk salon kecantikan ikut merawat tubuh. Lambat laun maskulinitas atau kejantanan digeser akibat perubahan orientasi produksi tanda yang layak jual. Semua tubuh akan difemininkan. Bahkan tubuh laki-laki.
Kekuatan Wacana. Menurut Foucault bahwa setiap tindakan seksual mengandung unsur kekuasaan atau sebaliknya, sejauh mana setiap ekspresi kekuasaan mengandung unsur seks. Mekanisme kekuasaan dalam masyarakat kapitalis yang menindas muncul dari kekuatan wacana. Hubungan sosial tercipta salah satunya lewat praktik seksual melalui bentuk-bentuk tingkah laku sosial di mana di dalamnya individu mengakui dirinya sebagai subjek seksual sehingga kuasa sosial dapat mengontrol mereka secara seksual.
Kurang relevan menunjuk hidung laki-laki atau maskulitas sebagai kambing hitam. Analisis Freud tentang inferioritas perempuan bisa salah ketika berdiri di atas alasan biologis, jika perbedaan dan ketimpangan antara perempuan dan laki-laki tidak dimulai dari produksi khayalan yang ditemukan pada masa anak-anak. Tapi dimulai dari produksi wacana yang timpang terus-menerus. Dan kekuatan dasyat itu datang dari perselingkuhan antara wacana dan erotisme.
Perempuan tak cukup pintar mengendalikan ideologi maskulinitas. Sekedar objek pemuas nafsu. Perempuanlah yang ingin dipuja-puja dalam media. Bahwa tanpa perempuan, media menjadi kering, sekering gurun Sahara. Perempuan takkan berkuasa dalam media, kecuali melalui tubuh dan berahinya.
Wallahua`lam bis shawab.
No comments:
Post a Comment