1. Privatisasi dalam Logika Neo-Liberal
Seperti disebutkan di atas, salah satu prinsip dari neo-liberalisme adalah privatisasi dengan menjual BUMN-BUMN kepada investor swasta. Privatisasi hampir selalu diasosiasikan dengan denasionalisasi ekonomi sebuah negara. Kedua kebijakan ini adalah alat strategis yang dipakai oleh para adikuasa ekonomi untuk menaklukkan perekonomian negara-negara Dunia Ketiga dan menghegemoni "masyarakat sipil." Menurut James Petras dan Henry Veltmeyer (1998) privatisasi harus dipahami sebagai bagian dari strategi global yang bermaksud menyerang masyarakat sipil dan politik demokratis, melakukan intervensi militer dengan kekerasan dan penggunaan dekrit-dekrit eksekutif yang sewenang-wenang.
Sekarang ini, kata Petras dan Velmeyer, privatisasi disebarkan di bawah perintah bank-bank "internasional" yang dikontrol oleh kekuasaan imperial, oleh para konsultan yang didanai kekuasaan imperial dan agen-agen pemerintah yang merancang program, menentukan harga dan mengidentifikasi pembeli yang potensial. Kerangka waktu dan cakupan privatisasi ini didikte oleh para adikuasa ekonomi, yang memprioritaskan untuk memaksakan transfer kekayaan yang akan mendorong transisi menuju kapitalisme neoliberal yang tidak bisa dipatahkan. Privatisasi pada dasarnya adalah sebuah aksi politik, yang memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki "nilai intrinsik" sebagai sebuah strategi ekonomi nasional dan tentu tidak menyumbang apapun bagi penciptaan lapangan kerja baru, angka simpanan dan investasi yang lebih tinggi, atau kekuatan-kekuatan produksi baru.
Strategi privatisasi di atas merupakan contoh pertama dari homogenisasi setiap kawasan ekonomi dunia agar tunduk pada penetrasi negara-negara industri maju, sambil membagi-bagi akses secara tidak adil terhadap pasar dunia sesuai dengan kemampuan-kemampuan produksi setiap kawasan. Proses privatisasi ini pada dasarnya bukan alat untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan dan mempenetrasi pasar-pasar, tetapi alat untuk mengeliminasi struktur-struktur produksi alternatif yang dapat bersaing atau mampu meruntuhkan kekuasaan yang oleh Petras dan Veltmeyer disebut dengan kekuasaan kaum imperialis. Ketika ekonomi sebuah negara telah diprivatisasi, buah dari kebijakan ini akan dipanen oleh perusahaan-perusahaan (pesaingnya) yang untung atau ditangkap oleh pasar. Dengan begitu mereka tidak perlu khawatir dengan reaksi kaum "nasionalis" atau "sosialis" yang tidak menyenangkan.
Bila dicermati, proses privatisasi mengasingkan organisasi-organisasi, gerakan-gerakan sosial dan warga negara sehingga perannya menjadi terpinggirkan. Pemecatan massif, penutupan industri-industri dan konversi pabrik-pabrik ke tangan para importir menyebabkan turunnya buruh pabrik tanpa serikat yang bergaji baik, berkembangnya pekerjaan ireguler di sektor informal dan bertambahnya jumlah buruh bergaji rendah. Untuk mencegah dampak-dampak sosialnya menurut Henry Velmeyer dan James Petras, rezim-rezim imperial dan lembaga-lembaga keuangan menumbuhkan organisasi-organisasi non-pemerintah (NGO atau LSM) untuk menyerap kembali tenaga masyarakat dalam aktivitas-aktivitas lokal di celah-celah perekonomian yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan transnasional, bank-bank dan sektor-sektor ekspor. NGO atau LSM tersebut memberi kontribusi dalam melemahkan gerakan-gerakan sipil dan sosial yang menentang model neoliberal yang dipaksakan oleh pusat-pusat imperial. Dan semuanya itu semakin menunjukkan ketidakadilan global.
Salah satu manifestasi gagasan kaum neo-liberal direpresentasikan oleh organisasi perdagangan dunia yang kita kenal dengan nama WTO (World Trade Organization). Lahirnya WTO merupakan perjuangan penganut pasar bebas yang ingin lepas dari kontrol negara, dan bahkan ingin menghapus peran negara menjadi seminimal mungkin. Pembentukannya sangat sarat dengan kepentingan negara industri maju untuk menggeser peran UNCTAD sebagai badan PBB di bidang perdagangan yang lebih mementingkan kepentingan mayoritas anggotanya yang berasal dari negara-negara berkembang dan miskin.
Meskipun pengambilan keputusan dalam WTO dilakukan oleh 134 negara anggotanya, akan tetapi yang sesungguhnya memainkan peran adalah perusahaan-perusahaan transnasional (Transnational Corporations/TNC). Myriam Vandle Stichele menunjukkan bahwa dua-pertiga perdagangan dunia melibatkan sekurang-kurangnya sebuah TNC, dan separuh darinya dilakuÂkan di dalam TNC itu sendiri (intra-firm export), melibatkan nilai penjualan sebesar US $ 7 trilyun di tahun 1995, yang dihasilkan oleh 280.000 afiliasi perusahaan dari 44.508 TNC. Nilai investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) TNC tahun 1995 adalah US $ 350 milyar. Oleh karenanya kepentingan utama TNC adalah pada pengubahan daÂlam aturan-aturan perdagangan dan invesÂtasi di seluruh dunia, agar dapat melindungi kepenÂtingan mereka di mana saja di berbagai negara.
TNC berkepentingan terhadap aturan trade and investment WTO, karena meÂnentukan kebebasan mereka untuk pindah dari satu negara ke lain negara. TNC juga berkepenÂtingan terhadap TRIPs, agar dapat mencegah adanya pembajakan produk. 90% dari paten produk dan teknologi adalah milik TNC. MereÂka juga berkepentingan terhadap TRIMs, yang dapat mencegah aturan-aturan investasi dari negara tuan rumah yang biasanya memakÂsakan prasyarat local-content dan menghambat repatriasi profit mereka.
Pengaruh mereka ada pada delegasi pemerintah, khususnya AS, Jepang dan EU. Departemen Perdagangan AS mempunyai komite konsultatif formal dengan TNC, seperti pada Committee for Trade Policy and Negotiations yang memberikan rekomendasi tentang kebijaÂkan perdagangan AS ke WTO. Dari 42 anggotanya, 19 adalah dari TNC seperti Monsanto, IBM dan Eastman Kodak. Di Jepang, hubungan pemerintah dengan TNC dilembagakan di Keidanren (The Japan Federation of Economic Organisation). Di dalamnya terdapat banyak komite yang diketuai oleh TNC. Misalnya Committee on Trade and Investment diketuai oleh CEO dari Mitsubishi Electric Corporation; Committee on Environtment and Safety diketuai oleh ketua Nissan Motor Co. Ltd; sedangkan Committee on Comprehensive Strategy diketuai oleh ketua Board dari Toyota Motor Corporation. Di EU juga demiÂkian, meskipun tidak begitu terlembaga. Think-tank dan badan eksekutif EU adalah European Commission (EC), yang selalu menjaga kontak dengan kalangan bisnis, khuÂsusnya lewat pertemuan berkala di ERT (European Round Table) dan UNICE (Union of Industrial and Employers Confederation of Europe) yang mempertemuÂkan kalangan TNC seperti Bayer, Philips, Unilever dan lainnya dengan para Perdana Menteri negara-negara Eropa. Dengan deÂmiÂkian kepentingan pemeÂrintah AS, EU dan Jepang di WTO sangat mencerminkan kepentingan para korporasi besar tersebut. Di lain pihak, TNC juga memÂpunyai akses langsung ke WTO melalui "Expert Meetings", yang integral dengan negosiasi di dalam WTO ataupun sebagai delegasi nasiÂonal dari pemerintah yang bersangkutan. Para lobbyist dari berbagai asosiasi bisnis dan TNC juga selalu bertemu dengan para negosiator sebelum dan setalah sesi-sesi negosiasi WTO. Di lain pihak, terdapat pula BIAC (Business and Industry Advisory Committee) di dalam OECD yang menenÂtukan posisi yang diadopsi oleh negara-negara kaya di dalam WTO. Yang juga berpeÂngaruh adalah ICC (International Chamber of Commerce) yang sering menamakan dirinya sebagai World Business OrganiÂsation, yang terdiri dari sekitar 7000 angÂgota TNC dan asosiasi bisnis di 130 negara. ICC dengan sekretariatnya di Paris memÂpunyai akses langsung kepada para peÂngamÂbil keputusan terÂtinggi dan para staff di WTO, OECD dan PBB. Selain itu terÂdapat pula Trans-Atlantic Business Dialogue (TABD) yang merupakan link informal TNC AS-Uni Eropa dalam membentuk kebijakan perdagangan AS-UE di WTO. TABD ikut berpartisipasi dalam AS-EU Summit di Den Haag tahun 1997, yang berperan dalam mengeksplorasi berbagai kebijakan libeÂralisasi perdagangan dan investasi di dalam WTO. Sementara itu World Business Council on Sustainable Development yang merupakan koalisi dari 125 TNC, memainkan peran penting dalam mengelola isu-isu lingkungan di berbagai orgaÂnisasi internasional.
Dalam isu Intellectual Property / Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), skenario WTO-pun tidak luput dari kepentingan TNC. Menurut Ronald V. Bettig, melalui kekuatan lobi yang didukung pemerintah AS, kepentingan TNC mendesak agar perbincangan HAKI dalam Forum WIPO dan UNCTAD digeser ke forum GATT dan kemudian WTO yang tentu lebih menguntungkan mereka. Perhatian serius terhadap HAKI oleh pemerintah AS merupakan kolaborasi yang sama menguntungkan antara TNC khususnya di AS) dengan pemerintah AS. Hal ini bisa dilihat dari data IIPA (sebuah lembaga swasta yang mewakili kepentingan industri AS).
Berdasar data yang dihimpun IIPA pada tahun 1997 menyebutkan bahwa industri berbasis hak cipta mengumpulkan kasil ekspor bagi AS sebesar $66,85 milyar, lebih besar dari industri kima yang hanya $66,4 milyar. Lima tahun kemudian, IIPA pada bulan pebruari 2002 melaporkan bahwa industri berbasais HAKI di AS pada tahun 1999 bernilai $457,2 miliar atau 4,9% dari total GDP AS. Jumlah pekerja yang terlibat dalam induystri berbasis HAKI adalkah 4,3 Juta orang batu 3,2% dari total pekerja seluruh AS. Maka tak disangsikan lagi, bahwa nyatanya kepentingan pemerintah negeri maju dan TNC-lah yang bermain di aÂlam berbagai aturan-aturan dan perÂjanjian-perjanÂjian di dalam WTO.
Bonnie Setiawan dalam bukunya Stop WTO, menunjukkan bagaimana WTO menjadi instrumen negara-negara industri maju untuk meraih keuntungan yang sangat besar dari negara-negara berkembang. Pertarungan perusahaan-perusahaan transnational dengan negara dunia ketiga dan warganya digambarkan oleh Bonnie seperti pertarungan antara Mike Tyson melawan Elyas Pical. Sebuah pertarungan yang tidak adil
Perjuangan melawan Neo-liberalisme oleh gerakan Mahasiswa dalam kenyataannya bisa dipandang sebagai sebuah tindakan yang utopis. Tidak ada sesuatupun dari mereka yang layak untuk dihitung sebagai sebuah modal, kecuali tekat yang menggebu-gebu. Tidak ada senjata ala Che-Guevara (yang hasilnya bisa kita lihat), tidak ada massa radikal untuk sebuah revolusi, demikian juga dengan dananya. Lalu, apa yang bisa mereka lakukan?
Bahkan, dari sisi lain, perlawanan seperti dia atas dapat di baca sebagai sebuah skenario kapitalisme untuk mendewasakan dirinya. Dugaan ini tentu tidak sembrono, sebab bagaimanapun memiliki bukti juga. Para penggugat neo-liberal di dunia ketiga kebanyakan adalah NGO yang dananya jelas berasal dari aliran dana internasional. Dana itu mau tidak mau akan berhubungan dengan korporasi transnasional. Meski hubungan yang terjadi sedemikian halus, tapi pastilah ada skenario dari pengeluar dana awal tadi. Tanpa menutup kemungkinan pelaksana NGO memiliki skenario sendiri.
Perjuangan dalam rangka pendewasaan kapitalisme sungguhnya bukan suatu yang terlalu buruk bila itu ditargetkan untuk membuat kapitalisme menjadi lebih manusiawi. Ini mengingat selama belum ada sistem alternatif yang lebih baik dan aplikatif dari kapitalisme, baik berangkat dari ideologi Islam maupun Sosialisme. Gerakan Mahasiswa-seperti HMI MPO-harus belajar dari para pendahulu mereka di tahun 80-an yang mengalami kebuntuan saat kental menggagas teori ketergantungan. Pemikiran kritis sangat menarik untuk diwacanakan, namun setelah sampai pada pengajuan alternatif hasil yang didapatkan kenyataannya jauh lebih buruk dari yang mereka kritik.
Pendewasaan kapitalisme adalah merupakan strategi antara menuju sistem alternatif yang muncul jika seluruh komponen rakyat bersama-sama berproses ke arah perekonomian yang adil. Karena itu strategi perlawanan terhadap neo-liberalisame seharusnya berbarengan dengan kerja keras untuk mengajak rakyat bergabung pada sebuah gerakan membangun keadilan di tingkat struktural maupun kultural. Atau dengan kata lain, perlawanan yang ada merupakan sebuah bagian dari gerakan anti-ketidakadilan yang dijalankan massif dan berkesinambungan. Maka jika kesadaran seperti itu yang menjadi dasar para penggagas ide perlawanan di HMI, bisa diharapkan perlawanan itu akan memiliki makna. Wallahua'lam bis shawab.
No comments:
Post a Comment