Dalam tulisannya dengan judul "Ekstremisme Agama dan Retorika Kebersamaan" Mansyur Semma mencoba memaparkan argumentasi bagi di-legal-kannya ekstremisme agama. Dengan gamblang Mansyur Semma menuliskan, "ekstremisme agama sebagai satu faham dalam keadaan tertentu dapat saja dibenarkan. Misalnya seseorang atau sekelompok orang penganut agama tertentu mendapat tekanan, ancaman, intimidasi dan bentuk teror lainnya."
Membincang ekstremisme agama memang merupakan sebuah wacana yang sangat menarik, apalagi kalau kita melihat gejala ekstremisme tersebut merebak di tanah air akhir-akhir ini. Sebutlah misalnya aksi penutupan rumah ibadah (gereja) yang terjadi di beberapa tempat, tuntutan untuk menghentikan aktivitas komunitas utan kayu dan dan kejadian serupa lainnya.
Situasi ini memang sangat problematis, disaat tuntutan untuk mengaplikasikan nilai-nilai demokrasi begitu kuat, pada saat yang sama kita diperhadapkan pada praktek keberagamaan yang kontraproduktif dengan demokrasi. Sebuah pertanyaan yang patut dimunculkan adalah apakah memang nilai–nilai demokrasi merupakan nilai yang secara diametral bertolakbelakang dengan nilai-nilai agama, ataukah praktek keagamaan kita yang bermasalah sehingga problem ekstremisme keberagamaan muncul.
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka yang penting untuk ditelusuri adalah titik persinggungan antara nilai-nilai agama dan demokrasi. Secara jujur tentu kita semua sepakat bahwa tidak ada satupun agama yang ingin dikatakan tidak demokratis, bahkan semua mengklaim bahwa setiap agama selalu berupaya untuk mengedepankan kemanusiaan diatas segala-galanya.
Bila memang demikian, maka tentu persoalan yang kita hadapi adalah persoalan pada praktek keberagamaan kita yang cendrung kontraproduktif dengan demokrasi. Aksi penutupan rumah ibadah dengan alasan melanggar SKB No 01 BER/MDN-MAG/1969 merupakan contoh nyata dari hal ini, sebab apapun alasannya, kebebasan beragama merupakan kebebasan dasar (fundamental freedom) bagi semua manusia. Bahkan kebebasan ini dijamin oleh pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right), bahkan UUD 1945 dalam pasal 28E ayat 1 dan pasal 29 ayat 2 pun menjamin hak ini.
Contoh diatas menunjukkan bahwa kesadaran keberagamaan yang kemudian melahirkan praktek keberagamaan kita betul-betul menunjukkan sesuatu yang tidak demokratis, karena tidak menghargai kebebasan beragama seseorang. Padahal menurut Hendardi, "hak atas kebebasan beragama bukan hanya hak bagi manusia (right for itself), lebih dari itu justru melekat pada dirinya (right in itself)". Ini berarti bahwa merampas kebebasan beragama seorang manusia, sama dengan merampas kemanusiaannya. Lalu dimana tanggungjawab kemanusiaan sebuah agama?
Pada pembahasan inilah terletak keberatan saya terhadap argumen Mansur Semma yang mencoba melegalkan ekstremisme agama apabila "seseorang atau sekelompok orang penganut agama tertentu mendapat tekanan, ancaman, intimidasi dan bentuk teror lainnya". Bukankah yang terjadi malah sebaliknya bahwa ekstremisme beragamalah yang merupakan tekanan, ancaman, intimidasi dan bentuk teror lainnya bagi pemeluk agama tertentu.
Efek dari pernyataan Mansyur ini adalah kita akan menemukan tumbuh suburnya ekstremisme agama dan akan berimplikasi langsung pada sebuah kehidupan sosial antar umat beragama yang saling tekan, saling ancam, saling intimidasi dan saling teror dengan menganggap pihak lain sebagai pemicunya. Nah, bila sudah demikian, maka tentu konflik horisontal antar umat beragama adalah sesuatu yang tidak tertahankan.
Yang paling miris adalah ketika beliau (Mansyur Semma) mengatakan, "Bahkan ekstremisme agama dalam keadaan tertentu dapat dijadikan sumber doktrin untuk meningkatkan pemahaman dan keyakinan agama seseorang atau kelompok orang". Pemahaman dan keyakinan agama macam apakah yang lahir dari sebuah doktrin yang bersumber dari ekstremisme beragama selain bangunan pemahaman dan keyakinan yang sangat eksklusif dan menafikan agama lain. Lalu dimana kita menempatkan kebebasan setiap manusia untuk memeluk agamanya?
Memang, pemahaman dan keyakinan terhadap agama yang kita anut perlu penguatan dan akar iman yang dalam, tapi adalah hal sungguh ironis jika bangunan pemahaman dan keyakinan itu disandarkan pada sebentuk ekstremisme. Bagaimanapun, ekstremisme adalah sebentuk pemahaman dan keyakinan keagamaan yang cendrung untuk mensubordinasi kemanusiaan. Bahkan tidak segan-segan mengartikulasikan pemahaman dan keyakinannya dalam tindak kekerasan yang begitu memalukan dan memilukan.
Untuk membangun sebuah kebersamaan dan tidak sekedar terjebak pada retorika kamuflatif, maka dibutuhkan sebuah bangunan pemahaman dan keyakinan yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, inklusivitas dan pluralitas. Dalam konteks Islam, Nurcholish madjid pernah mengungkapkan, "Islam adalah agama kemanusiaan terbuka... maka umat Islam harus kembali percaya sepenuhnya pada kemanusiaan".
Adalah hal yang cukup kontradiktif sebenarnya, apa yang dikemukakan oleh Mansyur Semma dengan kalimatnya, "realitas perbedaan agama hendaknya diakui secara proporsional dan rasional. Pluralisme sebagai faham harus diharamkan selain sangat sekuler, juga meniadakan realitas perbedaan tersebut". Kalimat mansyur ini sangat kental dengan aroma yang begitu ambigu dan terkesan emosional menolak pluralisme.
Pada satu sisi beliau (Mansyur Semma) menganjurkan pengakuan secara proporsional dan rasional terhadap realitas perbedaan agama, namun disisi yang lain beliau menolak bahkan ikut-ikutan dengan fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme, dengan tuduhan bahwa pluralisme merupakan faham sekuler dan meniadakan realitas perbedaan. Pemikiran ini makin diperparah oleh permaklumannya terhadap ekstremisme dengan berbagai alasan.
Ada beberapa hal yang patut dicermati dan dipertanyakan dalam tulisan beliau, apakah pengakuan secara proporsional dan rasional terhadap realitas perbedaan agama mungkin dilakukan dalam sebuah pemahaman keagamaan yang ekstrem? Apakah pluralisme benar-benar merupakan faham yang sekuler dan meniadakan realitas perbedaan?
Pertanyaan ini tentu dengan mudah menjawabnya, pengakuan secara proporsional dan rasional terhadap realitas perbedaan agama hanya akan bisa diwujudkan bila kita semua menganut pemahaman dan keyakinan keagamaan yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, inklusivitas dan pluralitas dan bukannya pemahaman keagamaan yang ekstrem. Karena pemahaman keagamaan yang ekstrem cendrung menafikan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan tidak segan-segan menumpahkan darah orang yang berbeda faham dengannya.
Bangunan pemahaman dan keyakinan keagamaan yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, inklusivitas dan pluralitas akan mudah dibangun didalam masyarakat (kalangan umat beragama) kalau terbangun sebuah komunikasi antar iman yang dilandasi oleh rasa saling percaya, tanpa ini maka tentu nilai-nilai tersebut tidak akan berfungsi dengan baik. Disamping itu juga dibutuhkan sebuah perangkat aturan yang wajar, adil dan bijaksana.
Usaha untuk melakukan penyempurnaan terhadap SKB No 01 BER/MDN-MAG/1969 adalah hal yang patut didukung bersama, demi tegaknya kehidupan beragama yang mengedepankan asas keadilan bersama. Harus diakui bahwa kehadiran SKB tidak memadai karena cenderung diskriminatif dan tidak adil dalam penerapannya, bahkan yang lebih berbahaya adalah ketika SKB ini disalahgunakan oleh mayoritas secara ekstrem.
Pemahaman dan keyakinan keagamaan yang esktrem pasti bersifat eksklusif dan menolak pluralitas kebenaran dan keselamatan. Ekstremisme agama bekerja di bawah bayang-bayang klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim) yang hanya ada dalam pemahaman dan keyakinan agamanya belaka.
Persoalan mendasar lain yang patut dicermati dari tulisan Mansyur adalah kesimpulannya terhadap pluralisme sebagai faham yang sekuler dan meniadakan pebedaan. Perlu diluruskan bahwa pluralisme bukanlah faham yang identik dan sama dengan sekuler, pluralisme berarti pengakuan terhadap perbedaan dan keanekaragaman, baik itu agama, ideologi, cara pandang maupun bangunan kebudayaan, sementara sekuler berarti bersifat duniawi.
Memang, harus diakui bahwa pluralisme sebagai faham yang mengakui perbedaan dan keanekaragaman tidak menutup pintu, bahkan mengakui orang yang memandang segala sesuatunya secara sekuler, tetapi pluralisme tidak selalu harus sekuler. Seseorang yang begitu mendalami kebenaran agamanya bisa saja pada saat yang sama juga tetap memberi ruang bagi tumbuh dan berkembangnya pemahaman dan keyakinan yang berbeda dari apa yang diyakini dan difahaminya.
Dilain sisi, seorang yang sekuler memang memungkinkan mereka untuk menjadi seorang penganut pluralisme, namun tidak menjamin seseorang tersebut tidak menjadi ekstrem sebagaimana kaum fundamentalis. Seorang sekuler yang ekstrem akan memberangus pemahaman dan keyakinan yang berbeda dengannya, sementara itu pluralisme adalah sebuah kepastian akan adanya kebebasan yang memang menjadi hak setiap manusia (the right of freedom) tanpa melihat agama, ideologi, cara pandang maupun bangunan kebudayaannya.
Pengakuan pada inklusivisme kebenaran hanya bisa kita temukan pada bangunan pemahaman dan keyakinan keagamaan yang bersifat inklusif dan plural. Disinilah kerancuan tulisan Mansyur Semma yang mengatakan bahwa pluralisme itu meniadakan perbedaan, karena justru faham pluralisme berarti pengakuan dan penerimaan terhadap berbagai macam keragaman dan perbedaan dalam kesetaraan dan kesederajatan. Wallahua’lam
No comments:
Post a Comment