"... Lagunya lagu Jawa. Loga’nya loga’ Jawa. Marasa orang Jawa. Samua serba Jawa. … Biasa miki' na ces. Makassarki’ ini ces. ... Saya Cuma mo bilang, Jangan mo dibilang. Makassarmu pun hilang. …. Janganmaki’ paksakan untuk loga' Jakarta, kalau besar kecilta' semua di Makassar. Tallipa' ki lidahta'. ... Kenapa kobanggakan loga' orang Jakarta, Na ko orang Makassar. Kalau ada umurta' panjang berjanjiki' tidak loga' lagi." Itulah sepotong syair lagu yang dilantunkan oleh Grup Art Tonic. Sepintas lalu tergambar tentang kreasi akulturasi seni antara dua daratan yang memiliki dua budaya berbeda (Jawa dan Sulawesi). Akan tetapi jika direnungkan, syair lagu itu mengandung suatu pola perlawanan budaya yang cukup "heroik".
Kesadaran kebangsaan memang penting untuk mempertahankan karakter budaya seseorang atau suatu bangsa. Fenomena erosi budaya bukan hal baru dalam riwayat kemanusiaan. Erosi budaya mana, merupakan suatu persoalan eksistensial suatu bangsa yang berpangkal dari rasa rendah diri bahasa.
Fenomena keberbahasaan dalam keseharian di daratan Nusantara, sebenarnya, semula tak menimbulkan masalah apa-apa beberapa abad silam. Itu disebabkan oleh adanya kemandirian eksistensial masing-masing bangsa yang menghuni wilayah pada waktu itu. Ya, waktu itu, sebelum penjajah menjadikan bangsa-bangsa tersebut terkumpul dalam satu "negara kesatuan" bernama Hindia-Belanda.
Hindia-Belanda adalah malapetaka terbesar bagi sebagian budaya. Disadari atau tidak. Bagi sebagian orang, ini bukan hal luar biasa. Jadi, biasa saja. Lain halnya dengan mereka yang memiliki sensitifitas budaya. Harga diri budayanya terasa terancam. Mengapa Hindia-Belanda? Tentu saja, karena penjajah itulah yang menyebarkan hama budaya yang mengerdilkan sebagian besar budaya di wilayah ini lewat pengerdilan bahasa bangsa-bangsa.
Celakanya, ketika Hindia-Belanda bubar, keadaan ini berlanjut, bahkan kian parah. Di mana letaknya? Bahasa baru yang disepakati oleh ratusan bangsa yang bergabung dengan negara merdeka bernama Republik Indonesia itu adalah bahasa Indonesia. Sebagai bahasa baru, buat bangsa-bangsa itu tentu butuh proses penyesuaian. Terutama dari segi dialek, yang dalam lagu tersebut dinamakan logat. Sebaliknya, bahasa baru itu juga perlu kerja keras untuk memperkaya idiomnya.
Kenyataan yang patut diakui adalah bahasa baru itu miskin kosa kata sehingga merasa perlu menyerap banyak kosa kata dari luar. Pekerjaan berikutnya adalah menetapkan "bagaimana penyebutan bahasa serapan itu?" Hukum pasar berlaku dalam konteks ini. Artinya, penyebutan baku, nampaknya diserahkan kepada penutur paling dominan di negeri ini. Berbeda dengan di Cina yang memiliki lembaga khusus untuk menetapkan standar penamaan dan penyebutan suatu bahasa. Kawan saya, Maryo, mahasiswa Sastra Cina Universitas Indonesia, Jakarta, mengajar saya bahwa untuk menamai suatu bangsa dalam bahasa Cina, cukup ditambah dengan ren setelah nama bangsa tertentu. Contoh: Yinni ren artinya orang Indonesia, Chunquo ren artinya orang Cina, Mei ren artinya orang Amerika. Saya ditanya, "Ni she na quo ren ma?" artinya "Anda orang mana?". Saya jawab, "Wo she Mandarren." Guru saya itu heran. "Apa artinya?" tanyanya. Saya jawab, "Artinya, saya adalah orang Mandar." Beliau menjelaskan bahwa di Cina belum tentu penyebutan itu bisa diakui. Di sana, setiap bahasa serapan beserta penyebutannya, harus melalui lembaga seleksi. Cara itu memungkinkan mereka dapat menghilangkan sentimen kedaerahan tertentu.
Di Indonesia tidak demikian nampaknya. Bahasa tutur kita rupanya bergantung bagaimana orang Jawa menuturkannya. Kawan saya, La Syamsuddin, orang Ternate keturunan Buton, akhirnya gagal memberikan presentasi dalam suatu diskusi di kelas. Dosanya hanya sedikit. Tidak bisa menyebutkan vokal "e" (seperti pada kata "besar") dengan baik. Semua vokal "e" dalam kalimat yang diucapkannya sama dengan "e" dalam kata "ember". Seisi kelas yang dominan orang Jawa-Sunda-Betawi kontan berteriak mengejek setiap kali salah sebut vokal "e". Saya segera merasa bangsa kelas dua di kelas itu. Pada suatu diskusi juga, saya menyebut nama "Dadang”"padahal seharusnya "Dadan". Sebetulnya saya tidak tahu bahwa namanya harus disebut Dadan, sebab nama Dadang juga ada dan lazim di Sunda. Tapi, apa reaksi teman-teman saya yang orang Jawa? Spontan mereka berkata, "wajar, dia orang Makassar". Padahal sebenarnya bukan karena saya tidak sengaja, atau pengaruh Makassarnya. Saya sadar mengatakan Dadang.
Bandingkan jika orang Jawa yang menyebutkan "Andi Mallarangeng" atau "Pahlawan La Maddukkelleng". Dapat dipastikan kesalahan menyebutkan vokal "e" tidak mendapat koreksi. Jadi, dengan sangat mudah mendapat permakluman.
Suatu saat saya ditanya anak SD, "bagaimana menyebut kata 'peta'? Saya tidak segera menjawab. Saya tunggu mbak jamu lewat, lalu saya menanyakan pertanyaan yang sama. Sebab, apapun yang disebutkan mbak jamu itu, pasti itulah yang benar. Kalau saya yang melakukan hal ini barangkali masih wajar karena saya memang orang Sulawesi. Tapi, tidak sedikit orang Riau juga harus melakukan hal yang sama. Padahal, dari bahasa Melayulah (bahasa orang Riau dan sekitarnya) bahasa Indonesia ini berasal. Sangat ironis.
Ini menggambarkan bahwa sebenarnya telah terjadi gap yang lebar, kendati mungkin tak disadari atau sengaja dibiarkan. Hal mana telah memproses rasa rendah diri bangsa tertentu yang dulu pernah besar. Sungguh, ini dapat mengancam nasionalisme Indonesia. Seyogyanya, masalah kebahasaanlah yang paling perlu dibenahi untuk mempertebal rasa nasionalisme, terutama bangsa buatan seperti Indonesia. Artinya, gap seharusnya tidak berasal dari bahasa yang memiliki sensitifitas budaya dan harga diri kebangsaan yang sangat tinggi.
By : MORTAZA A.S.
No comments:
Post a Comment