Friday, July 21, 2006

INDEPENDENSI MENOREHKAN MANUSIA-MANUSIA YANG TEGAR DAN JUJUR

Harian Kedaulatan rakyat tertanggal 28 Februari 1947 memuat sebuah berita demikian :
"Baru-baru ini di Yogyakarta, telah didirikan Himpunan Mahasiswa Islam. Anggota-anggotanya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa seluruh Indonesia yang beragama Islam. Perhimpunan akan menjadi anggota Kongres Mahasiswa Indonesia.Sekretariat : Asrama Mahasiswa, Setyodinigratan 5 Yogyakarta.
Hanya ini pemberitaan yang kita dapati dari pers, sehubungan dengan berdirinya HMI."
Rabu Pon, 14 Robiul Awal 1366H atau bertepatan dengan 5 Februari 1947 pukul 16.00 WIB telah lahir sebuah organisasi mahasiswa yang kelak menjadi wadah perkaderan bagi calon-calon pemimpin bangsa. Di tengah pergolakan nasional mempertahankan kemerdekan dan apatisme polarisasi kaum terpelajar ke dalam paham-paham sosialisme, HMI muncul sebagai organisasi mahsiswa pertama yang memakai label Islam. HMI adalah singkatan dari Himpunan Mahasiswa Islam yang ide pertamanya dikemukakan oleh Lafran Pane.
Bertempat di salah satu ruang kuliah Sekolah Tinggi Islam/STI (sekarang UII), Jl. Setyodiningratan 30 (Sekarang P. Senopati 30) Lafran Pane sebagai penggagas pertama HMI memanfaatkan jam kuliah tafsir al-Qur'an yang diasuh oleh Prof. Huasein Yahya untuk mendeklarasikan pembentukan HMI. Dengan berdiri tegak dihadapan kelas yang dihadiri oleh lebih kurang 20 mahasiswa, ia membacakan prakata sbb :
"Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi mahasiswa Islam, karena seluruh persiapan maupun perlengkapan yang diperlukan sudah siap...".
Acara tersebut usai seiring dengan tunainya matahari menyelesaikan tugasnya kemabli keperaduan. Sejak itu HMI secara resmi berdiri dengan beberapa tokoh pendiri antara lain: Lafran Pane, Kartono, Dahlan Husein, Anton Timur Djaelani, Yusdi Ghozali dan lain-lain yang tidak disebut satu persatu.
Berbicara mengenai berdirinya HMI, maka kita tidak akan lepas dari sosok yang paling berperan yaitu Lafran Pane. Lafran Pane dilahirkan di Tapanuli Selatan pada tahun 1925, sekeluarga Sanusi Pane dan Armyn Pane (penyair angkatan Pujangga Baru). Masa mudanya dipenuhi dengan petualangan dan pergulatan pemikiran yang amat keras sehingga Lafran Pane muda dikenal dengan tingkah lakunya yang aneh ide-idenya sangat cerdas akan tetapi seringkali tidak sistematis. Pendidikanya agamanya diawali dalam lingkungan tradisionalis dengan metode pengenalan sifat dua puluh (konsep teologi yang sangat terkenal dalam tradisi Sunni) dan kemudian dilanjutkan di sekolah-sekolah formal milik Muhammadiyah yang terkenal modernis (Sitompul 1976).
Semenjak berdirinya HMI merupakan organisasi independen yang berbasis mahasiswa dengan mengutamakan kebebasan berpikir dan bertindak sesuai dengan hati nurani. Komitmen pada perjuangan Islam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah idealisme yang selalu dipegang teguh oleh para kader HMI, sebagaimana tercantum dalam tujuan awal pembentukan HMI adalah :
1. Mempertahankan Negara republik Indonesia dan memepertinggi derajat rakyat Indonesia.
2. Menegakkan dan mengembangkan Agama Islam
 
I. Latar Belakang Berdirinya HMI

A. Situasi Pergolakan Nasional

Berdirinya HMI adalah saat dimana Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan yang direbut pada tanggal 17 Agustus 1945 dari tangan penjajah. Adanya keinginan dari Belanda untuk menjajah kembali Indonesia telah menjadikan mereka kembali datang setelah Jepang mengakui kekalahanya di depan tentara sekutu. Dengan menumpang pasukan Sekutu yang mendarat pada tanggal 29 September 1945, Belanda kembali ke Indonesia dan melakukan serangan-serangan atas beberapa wilayah Indonesia. Perang kembali berkobar dan teriakan-teriakan "Allahu Akbar" kembali menggema, memberikan semangat pada pejuang-pejuang kita.
Beberapa perlawan dilakukan oleh bangsa kita, diantranya adalah: Pertempuran 5 hari di Semarang, 15 Oktober 1945 di Padang, 7 Oktober 1945 di Kotabaru-Yogyakarta dan puncaknya adalah 10 November 1945 di Surabaya. Semuanya adalah dalam rangka mempertahankan bumi pertiwi dari tangan penjajah. Selain perlawanan fisik, cara diplomasipun dilakukan. Dengan mengadakan perundingan Lingar Jati, Renville dan Konferensi Meja Bundar (KMB) para pemimpin kita berusaha menggunakan cara-cara moderat dan anti kekerasan untuk menjaga kesatuan wilayah nusantara.
Perundingan Linggar Jati dilakukan pada tanggal 25 maret 1947 menghasilkan kesepakatan tentang eksistensi wilayah Indonesia yang hanya meliputi: Jawa, Madura dan Sumatera, serta pengakuan terhadap terbentuknya Negara Indonesia Serikat (RIS). Terlepas dari pro dan kontranya hasil perundingan itu, di kalangan tokoh-tokoh pergerakan waktu itu, perundingan ini merupakan sebuah kemajuan bagi perjuangan pergerakan bangsa kita.
Pasca perundingan ini, di tubuh kabinet terjadi perpecahan. Partai sosialis (yang memimpin kabinet) terpecah menjadi dua, yaitu sosialis demokrat yang dipelopori oleh Sutan Syahrir dan sosialis revolusioner (PKI) dengan tokohnya Amir Syarifuddin. Perpecahan ini berimbas diturunkannya Syahrir dari kursi perdana menteri dan digantikan oleh Amir Syarifuddin. Penggantian ini menimbulkan kemarahan di kalangan Masyumi dan termasuk HMI. Dengan demonstrasi-demonstrasi yang dilakukanya HMI bersama kekutan Islam lain menuntut dibubarkannya kabinet Amir.
Dasar penjajah, secara sepihak Belanda melakukan pelanggaran terhadap hasil-hasil perundingan itu. Tanggal 29 Juni 1947 Belanda melakukan agresi militer I dengan mengultimatum pengakuan wilayah Belanda atas Indonesia. Maka dengan segala kegigihan semangatnya TNI yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman melakukan perang gerilya di hutan-hutan dan pegunungan. Perlawanan ini berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Renville di atas geladak kapal Renville milik AS. Intinya adalah diadakanya gencatan senjata sambil menunggu perundingan lebih lanjut. Oleh karena hasil perundingan ini kurang memuaskan Indonesia. Oleh orang yang menentang Amir, perundingan ini dianggap sebagai sebuah kemunduran. Atas kegagalan ini kabinet Amir diganti dengan kabinet pimpinan Mohammad Hatta. Kabinet Hatta banyak didukung oleh kalangan Islam, termasuk HMI. Akan tetapi penggantian ini tentu sangat mengecewakan PKI dan para pengikutnya.
Kepulangan Muso dari tugas belajarnya di Uni Sovyet (sekarang Rusia) menjadikan PKI mendapatkan pemimpin barunya. Muso mampu memberikan pijakan idiologis yang sangat kuat bagi PKI agar menguasai Indonesia secara sepihak. Indonesia akan dijadikan negara komunis murni sebagai bagian dari Komunisme Internasional (Komintern). Duet Amir dan Muso menjadikan PKI semakin radikal dan berani. Hatta dianggap sebagai representasi kaum borjuis yang kontra revolusi dan merupakan antek-antek kapitalis. Disatu sisi Amir Syarifuddin yang merasa di kecewakan oleh kubu Hatta semakin memantapkan oposisinya sebagai kelompok yang berhaluan revolusioner memimpin partai ini diluar kontrol negara.
Klimaksnya adalah persitiwa berdarah, Madiun 1948, yang mengakibatkan hilangya lebih dari 150.000 nyawa anak bangsa tak berdosa dengan tuduhan pemberontakan terhadap NKRI. Elit-elit PKI berhasil memobilisir massa petani Madiun untuk melakuakn perlawanan terhadap negara. Konflik petani yang pada mulanya merupakan perebutan atas tanah (yang kebanyakan dikuasai oleh golongan beragama dan nasionalis) berubah menjadi konflik antar golongan komunis dan non-komunis, bahkan antar golongan agama dan non-agama (Juliantara 199). HMI dalam hal ini berperan dalam penumpasan pemberontakan ini dengan pengiriman anggotanya yang tergabung dalam CMI (Corps Mahasiswa Indonesia) pimpinan A. Tirto Sudiro.
Lagi-lagi Belanda mengkhianati perjanjian. Secara sepihak Belanda membatalkan perjanjian Renville dan melakukan penyerangan mendadak pada tnggal 19 Desember 1949 di Yogyakarta (Terkenal dengan agresi II). Beberapa tokoh penting seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan lainnya ditangkap dan diasingkan. Beruntunglah pemerintah cekatan bertindak dengan segera membentuk pemerintahan Darurat di Sumatera yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara, Daud Beureuh - Di Aceh - memimpin pengumpulan dana untuk membeli pesawat Indoensia pertama dan Panglima Besar Jenderal Sudirman masih tetap memimpin gerilya.
Bertepatan dengan tanggal 23 Agustus s.d. 7 November 1949 atas instruksi PBB di adakan Konferensi meja Bundar (KMB). Dalam perundingan itu diputuskan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tanggal 10 Desember 1949. Kemerdekaan Indonensia kembali direbut dan wilayah negara kesatuan republik Indonesia kembali berdaulat. Akan warisan konflik internal antara tiga idieologi besar yaitu Islam, Nasionalis dan Komunis belum selesai.

B. Kondisi Pergerakan Islam

Abad ke-19 merupakan abad modern dalam sejarah perkembangan peradaban Islam. Abad ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran modern Islam sebagai counter dari kuatnya hegemoni barat terhadap peradabn dunia. Pemikir-pemikir seperti Jamalauddin Al-Afgani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1915), Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), M. Iqbal (1876-196)dan lain-lain mengilhami munculnya gerakan-gerakan revivalisme Islam di sana. Muncullah gerakan Pan Islamisme, Jemi'at Al Islami, Ikhwanul Muslimin dan sebagainya. Beberapa pemikiran tersebut kemudian sampai ke Indonesia melalui tokoh-tokoh Islam yang belajar ke timur tengah maupun melakukan ibadah haji. Hasim Asy'ari (NU), Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), dan A. Hassan (Persis) merupakan beberapa tokoh pelopor yang besar dan terdidik di Timur Tengah.
Di sisi lain penerapan politik etis (balas budi) yang dilakukan Belanda semakin memberikan kesempatan kepada para okoh pribumi untuk mendapatkan pendidikan di Barat. Berbekal pendidikan inilah lantas tak sedikit kaum pribumi terdidik mulai dapat menyerap narasi-narasi besar (nansionalisme, demokrasi dan sosialisme) yang telah lebih dahulu berkembang di negeri lain, baik barat maupun timur tengah. Mereka mulai menyerap metode perjuangan terorganisasi, bahkan kemudian menjadikan gerakan penyadaran rakyat secara teroganisasi sebagai salah satu alat perjuangan (Purwanto 1999).
Tersebutlah beberapa organisasi pergerakan Islam seperti: Serikat dagang Islam (1908), Sarikat Islam (1912), Muhammadiyyah (1912), Persatuan Umat Islam (1917), Persatuan Islam (1923), Nahdlatul Ulama (1926), Al-jami'atul Wasliyyah (1930) Perti, Al Irsyad (1931) dan sebagainya, yang mempelopori era baru perjuangan kemerdekan Indoensia. Pada mulanya organisasi-organisasi tersebut bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan saja seperti pendidikan, perdagangan, palayan fasilitas umum dan sebagainya. Akan tetapi sesuai dengan tuntutan perkembangan bangsa yang berkeinginan untuk segera mencapai kemerdekaannya, beberapa organisasi itu berubah menjadi partai politik seperti SI yang berubah menjadi PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) pada tahun 1931.
Islam sosialis atau Islam populis yang digagas oleh HOS Cokroaminoto yang menjadi platform resmi SI, terpaksa mengalami tekan ideologis ketika faksi-faksi SI yang lebih radikal dan sekuler berusaha menarik SI ke dalam wacana Sosialisme Marxis-komunis. Hendrik Sneevliet, pimpinan partai sosialis di Belanda, mengintrusikan beberapa orangnya ketubuh SI untuk tujuan ini. Semaun dan Darsono adalah dua orang yang berhasil dipengaruhinya. Sebagai pimpinan SI cabang Semarang mereka berhahsil mengeluar cabang semarang dari hierakhis struktut SI dan menyatakannya sebagai berhaluan komunis. Inilah yang lalu membuat SI pecah menjadi dua. SI merah lantas menjadi Sarekat Rakyar (SR) dan menjadi embrio lahirnya PKI (23 Mei 1923) Sedangkan SI putih, sebagai reaksi atas perpecahan ini, meski mampu mengendalikan SI, mengalami gejala konservatisasi dengan bergerak ke arah lebih "kanan". Akibatnya SI mengalami kemerosotan daya tarik yang luar biasa bagi massa bawah (wong cilik/grass root (Purwanto 1999). SI putih kemudian berkembang menjadi PSII (Partai Serikat Islam Indonesia) yang kemudian bergabung menjadi Masyumi bersama organisasi Islam lainnya.
Puncak dari massifikasi perjuangan keorganisasian Islam adalah lahirnya Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) pada tahun 1945. Masyumi sebagai sebuah partai politik, lahir dari hasil dari Muktamar I ummat Islam Indonesia pada tanggal 7 November 1945. Pada mulanya Masyumi bukanlah merupakan partai, akan tetapi lebih merupakan wadah tunggal yang dibentuk oleh pemerintah Jepang untuk mengkooptasi kekuatan-kekuatan Islam. Waktu itu namanya adalah MIAI (Majlis Islam A'la Indonesia) yang dipimpin oleh K.H. Hasyim As'ari.
Masyumi bisa menjadi payung bagi seluruh ummat Islam karena terbentuk dari gabungan beberapa organisasi Islam yang berbeda-beda. Dalam mu'tamar Ummat Islam I tersebut menghasilkan keputusan :
1. Mendirikan satu partai Islam yang bernama MASYUMI
2. MASYUMI adalah satu-satunya partai politik Islam, dan tidak boleh mendirikan partai politik Islam lain kecuali Masyumi.
3. Masyumilah yang akan memperjuangkan nasib umat islam di bidang politik
Di dalam Masyumi bukan hanya tergabung organisasi-organisasi Islam modernis seperti Muhammadiyah saja akan tetapi juga organisasi puritan (Persis), organisasi yang mewakili kalangan Islam tradisional (Nu dan Perti), juga organisasi populis (PSII).
Sebenarnya dikalangan generasi muda juga telah lahir organisasi yang bukan bercorak politik maupun sosial, akan tetapi bercorak intelektual. Organisiasi tersebut bernama Jong Islaminten Bond yang didirkan pada tahun 1925 oleh seorng bernama R. Samsurijal (seorang anggota SI, mantan wali kota Jakarta). Tujuan organisasi ini adalah menyeru kepada para anggota agar dengan sungguh-sungguh mempelajari Islam, memperkokoh cinta-kasih demi keimanan Islam, dan dengan sabar menjaga hubungan bersahabat dengan mereka yang menganut keimanan dan keyakinan idiologi lain (Mintareja 1974 dalam Sitompul 1976).
Dilihat dari karakternya organisasi ini identik dengan karakter HMI. Dan berdasarkan keterangan beberapa sumber berdirinya HMI dikarenakan adanya inspirasi dari Jong Islaminten Bond ini (Tanja 1978).

C. Kondisi Kampus dan Yogyakarta

Sebutan Yogyakarta sebagai kota pelajar dan tingginya budaya yang menjadi ciri khasnya menjadikan kota ini sangat kondusif untuk menjadi pusat pengembangan pendidikan. Pada saat berdirnya HMI, beberapa perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta adalah :
1. Sekolah Tinggi Islam (STI), dimana HMI berdiri, didirikan pada tanggal 8 Juli 1945. Mulanya sekolah ini berkedudukan di Jakarta, akan tetapi seiring pindahnya Ibu Kota RI ke Yogyakarta pada tahun 1946 akibat agresi Belanda, menjadikan STI juga turut pindah Ke Yogyakarta. Pada tanggal 20 Mei 1948 sekolah ini berubah nama menjadi UII dan fakultas agamanya menjadi IAIN sekarang.
2. Universitas Gadjah Mada yang berdiri pada tanggal 17 Februari 1946 dan belum menjadi universitas negeri. UGM baru dinegerikan pada tanggal 19 Desember 1949.
3. Akademi Ilmu Kepolisian (Akpol).
4. Sekolah Tinggi Teknik
Kuatnya penyebaran ide-ide sosialisme dikalangan masyarakat menjadikan organisasi mahasiswa yang ada didominasi oleh pemikiran-pemikiran sosialis. Nuansa-nuansa keagamaan menjadi kering karena PMY (Perserikatan mahasiswa Yogyakarta), sebagai satu-satunya wadah mahasiswa waktu itu, meletakan landasanya pada non agama. Bagi Lafran Pane dan kawan-kawannya hal ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Harus ada organisasi mahasiswa yang perduli terhadap persoalan-persoalan keagamaan anggotanya. Meskipun dalam membina generasi mudanya, masyarakat Islam Indonesia sudah mempunyai GPII (Gabungan Pemuda Islam Indonesia), akan tetapi belum banyak dari kalangan mahasiswa yang mengikutinya.
Maka, atas kondisi ini, Lafran Pane dan kawan-kawanya berinisitaif mendirikan organisasi kemahasiswaan yang berlabelkan Islam. Dan organisasi tersebut kemudian diberi nama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Meskipun ia sendiri adalah salah satu pengurus PMY, akan tetapi dengan mendirikan HMI, ia dibenci oleh kawan-kawanya di PMY yang kemudian menjadikannya harus dipecat sebagai anggota. Ia dianggap sebagai orang yang membangkang dan sosok yang akan mengancam keberadan PMY.
Menurut Lafran Pane, motivasi utama didirikannya HMI adalah sebagai berikut :
"... sebagai alat mengajak mahasiswa-mahasiswa mempelajari, mendalami ajaran Islam agar mereka kelak sebagai calon sarjana, tokoh masyarakat maupun negarawan, terdapat keseimbangan tugas dunia-akhirat, akal-kalbu, serta iman-ilmu pengetahuan, yang sekarang ini keadaan kemahasiswaan di Indonesia diancam krisis keseimbangan yang sangat membahayakan, karena sistem pendidikan barat. Islam harus dikembangkan dan disebarluaskan di kalangan masyarakat mahasiswa di luar STI (Sekolah Tinggi Islam), apalagi PMY secara tegas menyatakan berdasarkan non-agama..." (Saleh, 1996).

II. HMI tahun 50-an : "Perkembangan dan Pendewasan"

Disorganiozed

Pasca KMB kedaulatan kembali ketangan pemerintah RI, meskipun bukan berarti semua persoalan selesai. Konflik internal antara berbagai kepentingan ideologi semakin memanas dan menghabiskan banyak energi dan korban jiwa. Tiga ideologi besar yang menjadi penyusun negeri ini yaitu: Islam, Nasionalis dan Komunis saling berebut kekuasaan untuk mendominasi pimpinan kabinet. Akibatnya situasi politik tidak stabil dan sering terjadi gonta-ganti kabinet. Pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 adalah salah satu klimaks dari adanya pertarungan itu.
Bagi HMI sendiri masa tahun awal 50-an, oleh Dahlan Ranuwiharjo, disebut sebagai masa "disorganized" (kekacauan organisasi). Diresmikanya Perguruan Gadjah Mada menjadi Universitas Gadjah Mada (UGM), maka beberapa perguruan tinggi yang berada disekitar Yogyakarta dan sekitarnya diintegrasikan ke dalam UGM. Beberapa diantaranya ialah Perguruan kedokteran yang semula berada di Klaten, Solo dan Malang diintegrasikan menjadi fakultas kedokteran UGM, termasuk juga akademi pertanian di Klaten kemudian menjadi fakultas pertanian UGM.
Dengan demikian maka HMI kehilangan beberapa cabang-cabang yang berada di daerah tersebut. Kondisi kampuspun kurang kondusif untuk aktivitas pergerakan karena ada kecenderungan mahasiswa kembali menggeluti dunia akademis (back to campus). Dunia akademis mengalami kevakuman selama masa mempertahankn kemerdekaan melawan agresi militer Belanda dikarenakan mahasiswanya ikut bergerak melawan. Beberapa anggota HMI yang selama agresi Belanda terjun ke medan tempur dalam wadah CMI, kini kembali lagi ke kampus dan kuliah seperti biasanya.
Personel Pengurus Besar (PB) HMI, yang waktu itu masih berkedudukan di Yogyakarta, banyak yang pindah ke Jakarta dan Bandung sehubungan dengan kembalinya ibu kota negara ke Jakarta. Bahkan beberapa pengurus PB HMI juga ada yang meneruskan karier di militer seperti A. Tirto Sudiro dan Hartono. Kedadaan ini sangat mempengaruhi kinerja kepengurusan yang waktu itu dipimpin oleh oleh SH. Mintaredja. Akhirnya Lafran Pene dan beberapa pengurus lain seperti Dahlan Ranuwiharjo berusaha mengantisipasi keadaan ini dengan mengambil alih kepengurusan HMI. HMI masih bisa terselamatkan dan meskipun PB dalam keadan lemah, ekspansi cabang masih bisa berlangsung, diantaranya adalah pembentukan HMI Cabang Jakarta, Bogor, Bandung dan Surabaya. Bahkan dalam kepengurusan PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia - sebagai konsosrsium antar organisasi) masih mempercayakan kepemimpinanya pada HMI. PPMI merupakan forum yang berisi lembaga-lembaga kemahasiswaan dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia.
Pindahnya Ibu Kota kembali ke Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1950 menjadikan HMI juga harus segera memindah sekretariatnya ke Ibu Kota baru. Pada bulan Juni 1950 secara resmi sekretariat HMI pindah ke Jakarta dan waktu itu HMI diketuai oleh Lukman Hakim. Di bawah kepemimpinan Lukman hakim, HMI masih juga belum bisa terlepas dari kondisi keterpurukanya. Kinerja organisasi lamban dan anggotanya tidak terurusi.
Dalam kongres HMI II di Yogyakarta (Desember 1950) diputuskan Dahlan Ranuwiharjo sebagai ketua Umum HMI yang ke-3. Dibawah kepemimpinannya HMI mulai melakukan pembenahan kembali dengan membuka cabang-cabang baru, melakukan penggalian kembali nilai-nilai HMI sebagai identtas, serta aktif mengontrol negara dengan memberikan usulan-usulan kepada presiden Sukarno. Dahlan merupakan tokoh HMI yang terkenal sangat dekat dengan Sukarno.

Munculnya Organisasi Underbouw-nya partai

Semakin kuatnya persaingan antar kekuatan-kekuatan idiologi (partai) untuk menguasai parlemen mendorong mereka untuk melakukan perluasan pengaruh ditingkat bawah. Diantaranya ialah dengan membentuk organisasi-organisasi baru yang menjadi underbouw-nya. Termasuk ditingkat dunia kemahasiswaan, pertai-partai besar seperti PNI dan PKI pada tahun 1953-1954 membentuk organisasi-organisasi kemahsiswaan underbouwnya. Tersebutlah GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia) yang merupakan kepanjangna dari PNI dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indoenesiia) yang menjadi kepanjangan PKI. Dengan lahirnya organisasi mahasiswa underbouw partai maka program-program organisasi mahsiswa tidak lagi lahir dari hasil pemikiran kritis mahasiswa yang Independen, akan tetapi lebih merupakan penerjamahan dari program partai induknya.
Sebagai organisasi mahasiswa yang independen HMI mendapatkan tantangan yang sangat besar. HMI adalah organisasi ondependen yang tidak bermaksud untuk menjadi senjata politik Masyumi atau suatu gabungan dari organisasi sosial atau pendidikan muslim apapun (Tanja, 1978). Akan tetapi sikap independensi HMI ini tidak tersosialisasikan dengan baik ke dalam organisasi lain. Dengan ciri Islam-nya, HMI sering dituduh sebagai alat kepentingan partai Islam seperti Masyumi. Bahkan tahun 1964 HMI nyaris dibubarkan karena tuduhan ini. HMI akhirnya harus dalam kancah konflik antar organisasi mahasiswa.
Peraaingan dalam memperebutkan kader baru dan dominasi di kampus tak jarang menimbulkan bentrokan fisik antar para pendukungnya. CGMI seringkali meneror anggota HMI dan melarang mereka aktif. CGMI bahkan melakukan gerakan-gerakan provokasi di kampus untuk membubarkan HMI. Demikian juga GMNI, sedikit banyak, organisasi ini turut serta dalam usaha-usaha mengganyang HMI.

III. HMI Tahun 60-an : "Perjuangan dan Eksistensi"

Bagi PKI, HMI merupakan musuh utama yang harus lenyapkan setelah Masyumi Sebab golongan agama dalam doktrin komunis adalah kelompok kontra revolusi yang diisi borjuis kecil yang pro kapitalis-imperialis. PKI menuduh Masyumi (dan juga HMI) sebagai antek-anteknya Amerika yang berusaha menanamkan pengaruhnya di dunia ketiga untuk memenangkan perang dingin (Aidit 2001). Maka tak ada jalan lain, jika ingin menguasai Indonesia, maka yang pertama kali harus dihancurkan adalah kekuatan-kekuatan kaum beragama. Nasionalis meskipun juga menjadi penentang komunisme tidak cukup mempunyai kekuatan yang konfrontatif karena merupakan produk ideologi lokal.
NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis) diharapkan oleh Sukarno dapat menjadi pemersatu ketiga kekuatan ideologi besar yang berkompetisi menanamkan hegemoninya dalam struktur negara. Ide tersebut ternyata hanya menjadi slogan kosong yang hanya semakin melegitimasi kekuasaan Sukarno. Pada tahap berikutnya Nasakom menjadi alat bagi PKI untuk melakukan hegemoni politiknya tanpa mau mengakomodasi kekuatan-kekuatan lain. Sebenarnya ide ini cukup baik jika diikuti dengan itikad baik dan perimbangan kekuatan antara elemen-elemen penyusunya. Akan tetapi lemahnya kekuatan Nasionalis dan Islam secara kualitatif menjadi tidak seimbang dengan kekuatan dan ambisi komunis untuk mengusai kabinet.
Kekukuhan HMI dalam membela Islam dan keterlibatanya dalam aksi pembasmian pemberontak PKI di madiun tahun 1948 bersama militer cukup menjadi stimulus dendam mendalam bagi PKI. Oleh karena itu permusuhan HMI dengan PKI/CGMI menjadi-jadi setelah Nasakom diberlakukn oleh Sukarno. HMI adalah organisasi yang menentang Nasakom. Tuduhan-tuduhan bahwa HMI merupakan underbouw-nya Masyumi, HMI terlibat dalam pemberontakan-pemberontakan Islam bersama Masyumi, HMI anti pancasila, HMI menjadi antek Amerika dan sebagainya menjadi dalih bagi PKI untuk mengganyang HMI.
Terhitung sejak tahun 1964 aksi-aksi mengganyangan HMI dengan berbagai tuduhan diatas mulai dilakukan oleh PKI. Koran-koran, majalah, aksi massa, forum-forum ilmiah dan bahkan menggunakan institusi perguruan tiggi untuk melarang aktivitas HMI. Lebh dari 30 mass media dan 46 organisasi massa digunakan oleh PKI untuk melakuakn usaha-usaha pembubaran HMI. Bentuk-bentuk aksi yang mengarah pada pengganyangan HMI diantaranya adalah sebagai berikut :
1. pelarangan HMI di fakultas Hukum Universitas Brawijaya Cabang Jember pada tanggal 12 Mei 1964 oleh sekretaris fakultas yang bernama Prof. Dr. Ernest Utrecht S.H.
2. Mengeluarkan HMI dari Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa yang tertuang dalam instruksi Majelis Mahasiswa Indoensia (MMI) pada bulan Agustus 1964. Semenjak bulan itu diberbagai perguruan tinggi seperti di Yogyakarta, Medan, Jakarta dan sebagainya HMI dikeluarkan dari DEMA, bahkan tidak diperkenankan untuk mengikuti pemilihan ketua.
3. HMI dikeluarkan dari keanggotanya di PPMI.
Keberhasilan CGMI mendominansi PPMI menjadikanya hanya sebagai alat kepanjangan CGMI. HMI dikeluarkan dari keanggotaan PPMI secara sepihak. Protes yang dilakukan PMII mengenai keputusan itupun ditolak karena PKI telah menjadikan PPMI sebagai alat kepentinganya.
4. Memfitnah HMI dengan berbagai pamflet yang isinya antara lain memprovokasi massa agar mendukung pembubaran HMI.
5. Petisi Pembubaran HMI dengan memanfaatkan momen-momen rapat akbar seperi peringatan 17 agustus 1945 untuk mengluarkan statemen-statemen yang berisi pembubaran HMI.
6. Penyingkiran anggota HMI dari jabatan-jabatan strategis di kampus. Di beberapa perguruan tinggi, dosen-dosen yang berasal dari HMI tidak pernah diberi kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan tinggi oleh pengurus fakultas yang telah di dominasi PKI.
Beruntunglah hampir semua ormas Islam yang ada waktu itu, seperti ormas-ormas yang berada di secara gigih melakukan pembelaan terhadap HMI. Sehingga Sukarno yang hampir-hampir saja membuat surat keputusan pembubaran HMI membatalkan rencananya dan HMI bisa bertahan sampai sekarang.
Pada tahun 1952 Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam mulai mengalami perpecahan. Perpecahan itu dimulai dengan keluarnya NU dari Masyumi. Kekecewan golongan NU atas komposisi kepemimpinan di Masyumi yang dirasa tidak adil menyebabkan NU keluar dan mendirikan partai sendiri NU merupakan konstituen terbesar Masyumi, sehingga hal dengan keluarnya NU sangat mempengaruhi nasib Masyumi selanjutnya. Beberapa waktu kemudian beberapa elemen lain seperti Perti dan PSII juga ikut keluar. Sehingga Masyumi praktis hanya diisi oleh Muhammadiyah dan Persis (keduanya cenderung modernis dan puritan).
Pada masa kepemimpinan M. Natsir kebijakan-kebijakan Masyumi banyak di arahkan kepada gerakan-gerakan ke arah formalisasi Islam dalam struktur negara. Contoh kongkritnya ialah ketika Masyumi memperjuangkan negara Islam dalam sidang konstituante 1955. Keadaan ini menjadikan program-program yang berorientasi pada sosial dan kultural banyak terabaikan. Beberapa organisasi pendukung yang berasal dari kaum tradisionalis akhirnya melakukan protes yang berujung pada perpecahan itu. Akan tetapi hal ini bisa dipahami mengingat saat itu Masyumi berhadap secara frontal dengan gerakan-gerakan sosialis-marxis (PKI) yang cenderung anti agama. Masyumi dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1960. .

HMI : KAMI Sebagai Pelopor Tumbangnya Orde Lama

Kondisi negara yang kian terpuruk dengan ditandai oleh tingginya inflasi, mendorong HMI kembali mengambil inisiatif melakukan aksi-aksi protes terhadap pemerintah. Hegemoni PKI dalam kabinet yang kian kuat juga mendorong HMI bersama elemen-elemen Islam lainya berusaha untuk melakukan kritik kepada Presiden Sukarno melalui gerakan massa. Ditingkat organisasi mahasiswa PKI juga sudah semakin menghegemoni. PPMI yang pada awalnya merupakan independen akhirnya dikuasai oleh CGMI (PKI), termasuk juga MMI dan Front Pemuda. Dengan demikian nyaris tak ada lagi organisasi mahasiswa yang bisa kritis terhadap kekuasaan.
PKI ada tanggal 30 September 1965 melakukan penculikan terhadap para petinggi Angkatan Darat yang terkenal dengan sebutan G 30 S/PKI. Peristiwa berdarah ini menjadi momen awal bagi massifnya gerakan-gerakan anti PKI oleh militer dan mahasiswa. Atas inisiatif Mar’ie Muhammad (Wakil ketua HMI) mahasiswa membentuk organisasi yang bernama KAMI (Kesatuan aksi Mahasiswa Indonesia). KAMI berdiri pada tanggal 25 Oktober 1965 di Jakarta, tepatnya di Rumah salah satu menteri kabinetnya Sukarno bernama Syarif Thayib.
Aksi pertama KAMI adalah rapat umum yang diselenggarakan di Fakultas Kedoteran Umum UI, Salemba, dengan tuntutan pembubaran beberapa organisasi yang menjadi underbouw PKI seperti CGMI, Perhimi, HIS dan Akademi PKI. Seiring kuatnya tuntutan terhadap pembubaran PKI, KAMI kemudian menjadi satu-satunya lembaga aksi yang mewadahi seluruh mahasiswa Indonesia dengan tanpa membedakan agama dan golongan. Aksi-aksi Kami bisa melibatkan massa yang sangat banyak dan spontan karena mendapat dukungan dari seluruh mahasiswa Indonesia selain dari PKI. Selain itu dukungan dari TNI angkatan darat juga turut memperkuat mental para anggota KAMI.
Puncak aksi KAMI adalah ketika mengumandangkan Tri Tura (tiga tuntutan rakyat) bersama elemen-elemen aksi lain seperti KAPI, KAGI, KASI dan sebagainya di halaman fakultas kedokteran UI, pada tanggal 10 Januari 1966. Adapaun isi Tri Tura adalah :
- Bubarkan PKI
- Retooling kabinet
- Turunkan harga
Sukarno menanggapi aksi-aski tersebut dengan menyatakan sebagai aksi yang kontra revolusioner. Ia malah membentuk kabinet baru yang beranggotakan beberapa orang yang disinyalir sebagai simpatisan PKI. Hal ini semakin menimbulkan kemarahan mahasiswa dan rakyat. KAMI meneruskan aksi-aksi dengan melibatkan lebih banyak massa. Pada tanggal 24 Januari 1966, saat pelantikan kabinet dwikora, KAMI melakukan aksinya lagi keluar kampus dengan melakukan pemboikotan jalan yang akan dilalui para menteri untuk pelantikan. Dalam aksi itulah terjadi bentrok antara mahasiswa dengan pasuka Cakrabirawa. Dua pahlawan Ampera yaitu Arif rahman Hakim dan Zubaidah tewas tertembus peluru. Sehari setelah penguburan jenazah pahlawan ampera, Sukarno mengumukan pembubaran KAMI.
Dengan pembubaran ini bukan berarti perjuangan berhenti, KAPPI yang dikomandani oleh M. Husni Thamrin mengambil alih posisi KAMI sebagai organisator massa. Sementara beberapa pimpinan KAMI seperti Cosmas Batubara (PMKRI), Zamroni (PMII) dan David napitupulu diculik oleh orang tak dikenal, beberapa anggota KAMI yang lain tetap berjuang dengan membentuk laskar-laskar Ampera di tiap daerah. Laskar-laskar inil mengorganisir massa sehingga gaung Tri tura sampai ke daerah-daerah. Aksipun berkembang sampai wilayah-wilayah propinsi. Bahkan aksi-aksi di Yogyakarta, Makasar dan lainya lebih heroik dan memakan lebih banyak korban jiwa.
Keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret menandai lahirnya Orde Baru pimpinan Suharto. Ia diangakat menjadi pejabat presiden pada tahun 1967 oleh MPRS dan akhirnya dikukuhkan sebagai presiden pada tahun 1969. Sukarno hidup sakit-sakitan dalam isolasi orde baru sampai akhirnya wafat tahun 1972.

IV. HMI Tahun 70-an : "Intelektualitas dan Ambivalensi"

Tahun 70-an bisa dikatakan merupakan masa-masa bulan madu antar militer dan mahasiswa. Militer yang didominasi oleh angkatan darat telah bekerja sama dengan mahasiswa untuk menumbangkam orde lama dan melahirka orde baru. Suharto sendiri, sebagai balas budi, memberikan jabatan-jabatan menterinya ke beberapa alumni HMI yang loyal padanya. Akan tetapi sebenarnya mahasiswa tidak sadar kalau ternyata ia hanya diperalat oleh militer. Ibarat mengurusi mobil mogok, mahasiswa diminta bantuanya untuk mendorong mobil tersebut agar hidup kembali. Akan tetapi setelah mobil bisa berjalan, mahasiswa lalu ditinggalkan dan militer yang berkuasa.
Orde baru dibangun atas dasar idiologi "developmentalisme" (pembangunanisme). Kemajuan suatu bangsa diukur dengan banyaknya materi dan pertumbuhan ekonomi menjadi parameter keberhasilan ekonomi. Untuk mendukungnya penguasa memelihara para taipan menjadi konglomerat dan utang luar negeri di jadikan modal bagi industri-industri negara. Di bidang politik, Golkar sebagai partai pendukung utamanya, difungsikan sebagai alat pengontrol kehidupan warga dan alat legitimasi pada tiap pemilu untuk mendulang suara. Sementara partai-partai lain, yang jumlahnya cukup banyak, dimandulkan dengan cara difusikan menjadi dua partai (PPP dan PDI), pancasilapun ditafsirkan secara sepihak dengan menggunakan P4.
TNI dengan dwifungsinya dijadikan anjing-anjing penjaga kekuasan dan proyek-proyek konglomerat yang siap menerkam siapa saja yang berani berpendapat beda dengan pemerintah. Gedung-gedung, pabrik-pabrik dan tempat hiburan dibangun dengan cara mengadaikan warisan untuk generasi mendatang karena eksploitasi sumber daya alam yang sangat dahsyat. Dan rakyat hanya menjadi penonton miskin yang dipaksa untuk menyebut dia sebagai Bapak pembangunan.
Pada era orde baru, HMI merupakan organisasi yang cukup mapan dengan kemampuan kader-kadernya yang sudah terbukti bisa menumbangkan orde lama. Purnanya beberapa fungsionaris HMI angkatan '66 sebagai pengurus, melahir beberapa generasi baru segaia konsekuensi dari adanya mekanisme regenerasi. Generasi baru ini adalah energi-enregi baru yang telah mewarisi kebesaran sejarah HMI. Kondis bangsa yang stabil dan nyaris tanpa pergolakan menjadikan generasi baru ini lebih menekankan kerja-kerja organisasinya pada pengembangan aspek intelektual. Sebagaimana saat berdirinya, karakter khas dari HMI adalah intelektualitas dan independensi. Trade mark bahwa HMI (angkatan '66) adalah generasi yang berhasil menumbangkan orde lama, maka tidak heran jika dikampus-kampus HMI sangat populer mengalami peningkatan jumlah anggota secar signifikan.
Era intelektual ini dipelopori oleh kepemimpinan Nurcholis Madjid yang pernah menjabat sebagai ketua HMI selama dua periode (1966/1969-1969/1971). Ia adalah mahasiswa IAIN Jakarta yang lahir dari kalangan Islam tradisionalis di Jombang. Sintesis antara kecakapanya dalam penguasaan kaidah-kaidah agama tekstul (kitab kuning) dan dengan dialektika lingkungan Islam modernis menjadikan ia sosok intelektual yang oleh Greg Barton (1999) disebut sebagai neomodernis. Ide sekularisasi dan statemenya yang berbunyi “Islam yes, partai Islam no sempat menjadi polemik panjang di mass media karena mendapatkan bantahan yang cukup keras dari kalangan pemikir Islam lain (yang juga kebanyakan dari HMI).
Dibawah kepemimpinannya materi-materi perkaderan mulai disusun secara lebih sistematis dengan diciptakanya NDP (Nilai Dasar Perjuangan) sebagai pedoman perkaderan di HMI. Juga mulai dirintis majalah HMI sebagai sarana untuk mengembangkan pemikiran. Di tingkat internasional, eksistensi HMI semakin mapan dengan aktifnya kembali di World Asembly Youth (WAY). HMI juga membidani lahirnya Federasi Mahasiswa Islam Internasional (IIFSO). Untuk keperluan itu Ia Nurcholis mengunjungi AS, Kanada, Inggris, jerman, dan Timur Tengah dengan atas nama sebagai ketua HMI.
Tokoh lain yang pernah menduduki jabatan ketua umum pada masa ini adalah Akbar Tanjung. Ia adalah mahasiswa Fakultas Teknik UI yang menandatangani kesepakatan Cipayung I. Kelompok CIPAYUNG, yang merupakan forum irisan antar elemen gerakan mahasiswa HMI, PMKRI, GMNI, PMII, dan GMKI cukup mempunyai peran dalam memberikan ide-ide tentang pluralisme, meskipun forum ini disinyalir merupakan bentuk kooptasi dari penguasa. Memang era 70-an HMI lebih banyak terkooptasi oleh penguasa. Peristiwa Malari (5 januari 1974) di Bandung menandai mulai bangkitnya kembali gerakan kritis mahasiswa. Aksi protes mahasiswa terhadap maraknya modal Jepang yang masuk ke Indonesia disikapi penguasa dengan represif oleh militer. Dalam hal ini, sebagai gerakan mahasiswa, HMI belum menunjukan kontribusinya secara riil. Demikian juga dalam kasus-kasus lain, HMI lebih banyak mengurusi kursi-kursi dalam DEMA (Dewan Mahasiswa) sebagai lembaga intra kampus, dibandingkan aksi langsung di masyarakat. Secara individu memang banyak anggota HMI yang terlibat dalam bebagai aksi mahasiswa. Akan tetapi, HMI secara organisasi tidak banyak terlibat dalam pembentukan arah sejarah mahasiswa saat itu (Tuhuleley 1990). Untuk menyikapi isu-isu nasional seringkali HMI bersikap ambivalen. Kadang ia berlaku kritis terhdap penguasa, seperti penolakanya pada konsep NKK/BKK sebagai pengganti DEMA, akan tetapi pada sisi lain HMI tetap saja bercokol di lembaga intra kampus (yang dianggapnya telah terkooptasi) dan selalu berjuang merebutkan kursi ketua.
Tahun-tahun 70-an akhir, merupakan era kebangkitan gerakan modern Islam kedua di Indonesia. Keberhasilan Ayatullah Khumaeni (1979)) memimpin revolusi Iran menjadi inspirasi tersendiri bagi tokoh-tokoh Islam untuk melakukan melakukn perlawanan. Gerakan-gerakan Islamisasi ditiap institusi mulai marak lagi, dan kelompok-kelompok gerakan di timur tengah seperti Ikhwanul Muslimin, Jama'ah Tabligh, dan sebagainya mulai meluaskan pengaruhnya di Indonesia. Gerakan-gerakan ini membidik kaum terdidik (kampus) sebagai obyek dakwahnya. Makanya tak heran jika awal tahun 80-an meruakan era masjid kampus, dimana pengajian-pengajian sangat marak dan kampus. Berbondong-bondong mahasiswa ikut dalam halaqoh-halaqoh dan ustadz-ustadz "karbitan" muncul dari kalangan akademis yang tercerahkan.
Di internal HMI-pun tidak terlepas dari kecenderungan semacam ini. Kritikan-kritikan bahwa HMI kurang Islami memicu beberapa pengurus HMI melakukan gerakn ‘hijaunisasi’ kembali. Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) sangat berperan dalam hal ini. LDMI membentuk kelompok kajian NDI (Nilai-nilai Dasar Islam) yang kemudian setelah lepas dari HMI bernama FOSI (Forum Studi Islam). Diantara tokoh-tokohnya adalah Eggy Sudjana, M.S. Ka'ban Fadlo dzon, dan lain-lain. Penggunaan metode brain washing dalam training-trainingnya menjadikan klompok kajian ini sangat efektif dalam membentuk kader-kader militan di HMI.
Adanya hijaunisasi ini pada akhirnya mengkutub pada perdebatan ideologis di HMI. Perdebatan panjang mengenai Islam dan Pancasila memakan energi para pemikir HMI yang tidak sedikit. Lama-lama wacana ini berkembang sampai tingkat bawah dan mulai mendapatkan pengikutnya masing-masing. Kelompok "Islamis" mengidealisasikan bahwa Islam harus mewujud dalam sebuah sistem yang mengatur kehidupan warga negara karena sebagai sebuah tatanan hidup, Islam sudah paripurna. Meskipun tidak semuanya berpendapat demikian, kader-kader yang prihatin dengan sekularisasi yang dialami HMI juga masuk dalam blok ini. Sudah tentu kelompok inilah yang gigih melakukan hijaunisasi kembali di HMI. Beberapa eksponen HMI yang mendukung cenderung pada kelompok ini diantaranya adalah Abdullah Hehamahua, Ismail Hasa Metarium, Deliar Noer dan sebagainya.
Sebagian kader yang melakukan elaborasi pemikiran ke-Islaman lebih ekletis dan dialektis berpendapat bahwa negara merupakan bentuk dari sebuah keinginan untuk hidup bersama yang terikat dalam konsensus, dalam hal ini pancasila. Sehingga pancasila, terlepas dari penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh rezim, merupakan produk yang paripurna bagi bangsa Indoensia dalam kerangka kehidupan kebangsaan. Pemikiran demikian banyk dipelopori oleh orang-orang yang tergabung dalam limitted group-nya Ahmad Wahib, Dawam Raharjo, dan Djohan Efendi di Yogyakarta serta tokoh-tokoh lain di Jakarta seperti Nurcholis Madjid, Dahlan Ranuwiharjo, dan sebagainya. Dalam lokakarya tafsir asas atas tafsir asas organisasi dalam lokakarya tafsi asas di mataram dan Yogyakarta dua polarisasi pemikiran ini sempat mengalami perdebatan panjang.
Polarisasi bukan hanya terjadi dalam pemikiran saja, akan tetapi perbedaan pendapat mengenai sikap politik HMI terhadap negara ternyata juga lebih seru dan bahkan menumbuhkan bibit perpecahan. Beberapa kader mengkritik bahwa HMI telah kehilangan daya kritisnya karena terlalu akomodatif terhadap pemerintah. Kelompok ini menginginkan HMI harus tetap independen dan berdiri diluar negara. Orde baru sudah banyak melakukan penyelewengan-penyelewengan terhadap kekuasaan yang mereka pegang. Rencana penerapan UU keormasan yang akan memaksa semua organisasi menerapkan asas tungal pancasila adalah edisi baru dari cara Suharto melakukan kontrol terhadap warga negara. Kelompok ini secara taktis berafiliasi dengan kelompok Islamis. 'Pengalaman historis revolusi Iran menunjukan bahwa ternyata Islam juga bisa menjadi kekuatan revolusi'.
Pada sisi lain sebagian anggota HMI memilih jalan kompromistis sebagaimanan yang biasa dilakukan HMI sebelumnya. Kesediaanya bekrja sama dengan pemerintah dan karena kedekatanya dengan beberapa alumni yang sudah duduk dalam birokrasi menjadikannya kurang peka terhadap penyimpangan-penyimpangn yang dilakukan pemerintah. Masuk HMI bukan berati harus berjuang dan hidup susah, akan tetapi bisa saja sebagai salah satu jalan karir masa depan. Menjadi anggota HMI, setidaknya menurut persepsi beberapa orang, berati menjadi calon pejabat dalam birokrasi negara. Pendapat-pendapat demikian sah-sah saja dan tidak salah. Posisi HMI yang sudah sedemikian mapan secara riil memberikan peluang untuk itu. Akan tetapi jika pendapat demikan hanya akan menjadikan HMI tidak independen dan oportunis. Beberapa anggota yang berpendapat demikian ternyata lebih sepakat jika HMI mengikuti keinginan pemerintah memakai asas tunggal pancasila.

V. HMI Tahun 80-an : "HMI (MPO) Menolak Tunduk"

Tahun 80-an dikenal sebagai masa pertumbuhan bagi gerakan-gerakan Islamisaisi kampus. Bibit-bibit semangat "kembali ke-Islam" yang disemai pada akhir tahun 70-an kuncup-kuncupnya mulai tumbuh. Kelompok-kelompok pengajian kampus (halaqoh) semakin ngetrend dan Ramadhan menjadi ramai. Meskipun sebenarnya terdiri dari berbagai aliran, akan tetapi mereka mempunyai kesamaan isu, yaitu kebangkitan Islam. Harapan akan kebangkitan Islam di Asia tenggara ternyata cukup memberikan visi dan ruh yang menghidupkan semangat para da'i kampus (murabbi) untuk terus mengobarkan semangat Islam. HMI merupakan organisasi pencetus murrabi di kampus.
Bagi orde baru, hal ini merupakan pertanda buruk karena akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan kekuasaanya. Beberapa kasus di negara lain radikalisme kaum beragama bisa menciptakan revolusi yang bisa menumbangkan keuasaan. Ancaman terbesar bagi orde baru setelah hancurnya komunisme adalah kelompok beragma ini. Penolakan Suharto atas keinginan Muhammad Roem menghidupkan kembali Masyumi merupakan bukti ketakutanya pada kekuatan kaum beragama..
Bentuk antisipasi yang dilakukan orde baru untuk mengontrol kehidupan kebangsanya ialah dengan rencana dikeluarkanya UU. keormasan No. 8 tahun 1985. Dalam rancngn UU ini disebutkan adanya kewajiban bagi tiap organisasi massa untuk memaki Pancasila sebagi asanya. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat kebhinnekaan yang di inginkan oleh pancasila itu sendiri. Penyeragaman asas dalam tiap AD/ART adalah bentuk kontrol yang sangat kuat dari negara terhadap warga negaranya yang berati pula hilangnya kebebasan warga negara untuk berbeda. Oleh karena itu muncul banyak kritik dalam pemunculan paket UU ini (baca bukunya Deliar Noor: Islam, Pancasila dan Asas Tunggal).
Meskipun demikian, kuatnya hegomoni kekuasan orde baru, menjadikan organisasi-organisasi massa yang ada seprti Muhammadiyah, NU, GMNI, PMKRI, GMKI, PMII, IMM dan sebagainya tidak bisa berbuat banyak. Berbondong-bondong organisasi-organisasi tersebut mengubah AD/ART-nya menjadi berasaskan pancasila. Beberapa alasan yang dikemukan oleh organisasi yang mengubah asasnya tersebut rata-rata ialah untuk mencari keamanan. Dari sini dapat kita rasakan betapa kuat dan ditakutinya kekuasaan orde baru saat itu. Dukungan militer dalam nengamankan kekuasaan negara yang sangat kuat seringkali menimbulkan tindakan-tindakan represif dan anarkis oleh negara terhadap warga negara. Sehingga kepatuhan warga negara terhadap pemerintah bukan karena disebabkan oleh semangat dan komitmen kebangsaan akan tetapi lebih dikeranakan oleh adanya ketakutan-ketakutan terhadap aparat.
HMI sebagi organisasi mahasiswa terbesar dan berpengaruh saat itu jelas akan menjadi sasaran selanjutnya bagi proyek "pancasilaisasi" ini. Anggota HMI yang banyak dan tersebar diseluruh pelosok nusantara merupakan aset bangsa yang tidak bisa diabaikan. Pemerintah berkeinginan menjadikan HMI sebagai pelopor yang akan mendukung pelaksanaan UU tersebut. Sewaktu pengumuman akan diterapkanya UU keormasan tersebut, HMI belum menyatakan kesediaanya untuk mengikuti keinginan pemerintah.
Maka disusunlah strategi oleh pemerintah untuk membujuk beberapa fungsionaris HMI agar bersedia memakai asas tunggal. Dikirimlah beberapa alumni HMI yang sudah duduk dalam kabinet untuk mendekati HMI. Jawaban pengurus HMI ialah agar semuanya diserahkan pada hasil kongres yang akan diselenggarakan di Medan tahun 1983. Dalam kongres tersebut pemerintah mengutus Abdul Gafur (menteri pemuda dan olah raga, alumni HMI) untuk membujuk peserta agar bersedia mengubah asas. Abdul Gafur bahkan mengancam akan melarang kongres itu jika HMI menolak merubah asas.
Pada akhir Mei 1983 diadakanlah kongres HMI XV di Medan. Kongres ini dinamakan kongres perjuangan karena diselnggarakan dalam tekanan yang kuat dari pemerintah untuk merubah asas. Dalam tempo 4 Juni 1983 dilukiskan suasana kongres sebagai berikut : "....Ketiak sampai pada Anggaran Dasar pasal 4, bahwa asas HMI tetap Islam teriak Allahu Akbar gemuruh menyambutnya.....". HMI secara tegas menolak menggunakan asas tunggal pancasila dalam AD/ART-nya dan masih setia mempertahankan asas Islam.
Dalam kongres itu terpilih Hary Azhar Azis sebagai ketua umum HMI yang akan bertugas mengemban amanat ini. Kegagalan Abdul Gafur untuk membujuk adik-adiknya ini tidak membuat pemerintah menghentikan usaha-usahanya. Pemerintah terus berusaha untuk membujuk HMI dengan melakukan pendekatan-pendekatan persuasif kepada pengurus HMI hasil kiongres. Usaha-usaha tersebut berhasil ketika pada saat sidang Majlis Pekerja Kongres (MPK) II dan rapat pleno PB HMI tanggal 1-7 April, di Ciloto-Puncak-Bogor, PB HMI bersedia mengubah asas Islam dengan asas Pancasila. Keputusan ini diumumkan pada media massa seminggu kemudian dengan menggunakan rumah Bp. Larfan Pane sebagai tempatnya.
Reaksi keraspun mengalir dari cabang-cabang di daerah. Cabang Yogyakarta sebagai cabang embrionya HMI, melakukan protes keras terhadap keputusan tersbut. Cabang Yogyakarta mengeluarkan pernyataan sikap dengan judul: "Sikap jama’ah HMI Yogyakarta terhadap perilaku dan siaran pers PB HMI". Dalam pernyataan sikap tersebut secara tegas Yogyakarta menolak keputusan PB dan menganggapnya inkonstitusional. Seharusnya keputusan perubahan AD/ART adalah wewenang kongres HMI, bukan pengurus besar (PB). Cara pengambilan keputusanyapun dianggap cacat karena tidak memenuhi kuorum. Dalam sidang MPK tersebut 19 orang melakukan walk out.
PB HMI malah menanggapi sikap cabang yogyakarta ini dengan kurang arif. PB tidak bersedia melantik M. Chaeron A.R. sebagai ketua umum cabang Yogyakarta. Akhirnya pelantikan dilakukan oleh HMI Badko Jawa Bagian Tengah yang juga bersikap menolak terhadap keputusan PB. Penolakan ini tertuang dalam sidang pleno HMI Badko Jawa bagian tengah pada tanggal 29-30 Oktober 1985 di Yogyakarta. Atas sikap ini PB HMI kemudian mamecat ketua Badko (Yati Rachmiati) dari pengurusannya.
Protes terhadap keputusan PB ini bukan hanya berlangsung di Yogyakarta. Cabang Jakarta, dimana Harry Azhar Azis, secara adminstratif terdaftar sebagai anggota HMI, membuat keputusan dengan memecat Harry Azhar Azis dari keanggotaan HMI. Secara konstitusional pemecatan ini sah, karena (dalam aturan administrasi HMI) meskipun keduduknya sebagai ketua umum PB akan tetapi kartu anggota dikeluarkan oleh pengurus cabang. Pemecatan ini menimbulkan kemarahan PB, sebagai ketua umum ia kemudian membekukan HMI cabang Jakarta dari struktur keorganisasian HMI. Sebagai gantinya PB HMI membentuk cabang-cabang transitif yang pengurusnya dipilih oleh PB HMI.
Menjelang diselenggarakannya kongres XVI di Padang, Sumatera barat, HMI Adapun kongres XVI pasti akan dijadikan forum untuk melegitimasi perubahan asas tersebut oleh PB HMI. Dengan demikian takkan ada lagi alasan bagi cabang-cabang untuk menolak perubahan asas dalam AD-ART HMI. Demi mengantisipasi hal ini, maka cabang-cabang yang menolak keputusan PB tersebut membentuk forum yang bernama Majlis Penyelamat Organisasi (MPO). Pada mulanya forum tesebut dibentuk untuk berdialog dengan PB dan MPK mengenai perubahan asas dalam kongres yang derencanakan. Akan tetapi karena tanggapan PB yang terkesan meremehkan, maka akhirnya MPO melakukan demonstrasi di kantor PB HMI (Jl. Diponegoro 16, Jakarta). Dalam demonstrasi tersebut PB mengundang kekuatan militer untuk menghalau MPO. Beberapa anggota MPO malah ditangkap oleh aparat dengan tuduhan subversif. Keadaan ini berlangsung sampai diselenggarakanya kongres HMI XVI di Padang berlangsung pada tanggal 24-31 Meret 1986.
Dengan diwarnai kekacauan karena adanya dua kubu yang saling bertentangan, maka kongres XVI di Medan menjadi tonggak sejarah bagi pecahnya HMI menjadi dua bagian, HMI Dipo dan HMI MPO. Kehadiran MPO, yang telah berhasil mengorganisir 9 cabang-cabang terbesar di HMI, ditolak oleh panitia kongres. Kongres hanya diikuti oleh cabang-cabang yang tidak terlibat dalam MPO dan cabang transitif. Kehadiran cabang transitif ini mendapat tantangan keras dari peserta kongres sehinga menimbulkan kekacauan fisik dalam ruangan sidang. Adapun 9 cabang yang mendukung MPO adalah :Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Ujung Pandang, Pekalongan, Metro Tanjung Karang, Pinrang dan Purwokerto.
Kongres berlangsung sampai selesai dengan menetapkan pancasila sebagai asas HMI. Sementara MPO, yang sebenarnya memepunyai lebih banyak pendukung, pulang dari Padang dengan menyungging kekecewaan mendalam. Dipandegani oleh HMI cabang Yogyakarta barisan ini kemudian juga melakukan kongres di Yogyakarta dan memakai nama kongres HMI XVI juga..
Tentunya kongres ini merupakan kongres ilegal dan sangat diharamkan saat itu. Pemerintah menganggap kongres ini sebagai bentuk pembangkangan terhadap negara dan anti pancasila. Meskipun demikian kongres tetap di selenggarakan dengan membuat pengumuman bahwa "kongres akan diselenggarakan di Kaliurang-Yogyakarta". Aparatpun mengancam akan membubarkan kongres ini dan menangkap para pesertanya. Menjelang pintu gerbang Kaliurang mobil pengangkut peserta dibelokan ke Gunung Kidul. Kongres berhasil diselenggarakan selama tiga hari di sebuah desa di Gunung Kidul ini. Aparat terkecoh karena mereka melakukan pengejaran ke Kaluirang akan tetapi ternyata buronya di tempat lain. Saat mereka tahu bahwa kongres ternyata di adakan di Gunung Kidul maka mereka mengejar. Akan tetapi setelah sampai, kongres sudah selesai dan "HMI Perjuangan" sudah berdiri. HMI ini kemudian disebut HMI MPO atau HMI Islam atau HMI '47. Disebut HMI Islam karena HMI ini yang tetap mempertahnkan Islam dan disebut HMI 1947 karena HMI ini mengangap dirinya sebagai ‘yang benar-benar mewarisi HMI 1947 (tetap independen)
HMI hasil kongres XVI di Padang merupakan HMI yang diakui secara sah oleh pemerintah. HMI ini sekretariatnya di Jl. Diponegoro 16 sehingga sering disebut HMI Dipo. Atau bisa juga disebut HMI Pancasila, karena asasnya pancasila, dan di mass media biasa disebut dengan menggunakan huruf “HMI” saja. Dalam kongresnya yang ke-22 di Aceh pada tahun 1999 HMI ini merubah asasnya kembali menjadi Islam. Sehingga sekarang nyaris tak ada bedanya dengan HMI MPO. Hanya model perkaderan, tradisi (cultural mainstream) dan sikap politiknya saja yang bisa dijadikan alat pembeda. Tradisi kooperatifnya dengan golkar dan kedekatanya dengan kebanyakan alumni (KAHMI) menjadikn HMI Dipo lebih mapan secara finansial dan rapi dalam keorganisasian.
HMI MPO terlahir sebagai sosok anak haram dalam gua garba orde baru. Ditengah situasi kehidupan kebangsan dihegemoni militer, dalam suasana kebungkaman waraga negara dan diliputi ketakutan untuk berbeda, HMI MPO hadir sebagai pendekar yang berani berteriak lantang menentang kekuasaan. HMI MPO-lah organisasi Islam pertama yang menuntut Suharto harus turun. HMI MPO harus berjuang dibawah tanah demi mempertahankan idealisme dan eksistensinya yang semakin lama-semankin ditinggalkan cabang-cabang pendukungnya. Aparat selalu mengawasi training-training yang dilakukan oleh HMI dengan mengirimkan intelnya. Penyelenggaraan LK I tak jarang gagal karena tiba-tiba digrebek aparat dan pesertanya diinterogasi. Pada tahun 1987 di Yogyakarta terjadi penggrebekan terhadap sekretariat HMI cabang Yogyakarta di Jl. Dagen 16. Pengurus yang waktu itu sedang berada di lokasi lari tungang-langgang mencari perlindungan bersama dikokangnya senjata para kecoa hijau itu. Sebenarnya penggrebekan tersebut dilakukan karena cabang HMI Dipo Yogyakarta yang baru didirikan berkeinginan untuk menempati sekretartat Dagen. Akhirnya para aktivis HMI MPO memindahkan base camp-nya di gang Sambu (dekat UNY) dan kemudian menetap di Karangkajen.
Dalam awal perjalananya HMI MPO dikenal dengan sosok organisasi mahasiswa yang radikal dan sangat kanan (untuk tidak disebut fundamentalis). Penekanan pada nilai-nilai ke-Islaman dan kejuangan menjadi materi utama dalam training-trainingnya. Khittah perjuangan diciptakan sebagai pedoman dalam perkaderan untuk mengganti NIK (nilai-nilai identitas kader) yang sudah dirasa tidak menggigit lagi. Sementara anggota-anggotanya lebih banyak disuplai dari kelompok-kelompok pengajian (halaqoh) yang saat itu sedang menjamur.
Demi mengurangi konflik dengan negara HMI MPO harus memilih jalan-jalan yang tidak banyak mengekspos diri dan jauh dari jangkauan khalayak. HMI lebih banyak bergerak dibelakang layar sambil sesekali muncul dengan menggunakan topeng. Kajian-kajian epistemologis menjadi trade mark-nya yang mana kemudian menjadi identitas HMI MPO pada awal tahun 90-an. Kajian-kajian epistemologis ini ditempuh karena tidak banyak membutuhkan biaya, aman dari tuduhan-tuduhan dan merupakan jalan alterntif dalam tradisi intelektual di Indonesia.

Alasan HMI Penolakan Asas Tunggal

Alasan penolakan terhadap pancasila sebagai asas tunggal dikemukakan oleh Abdullah Hehamahua (Mantan Ketua PB HMI) dalam suratnya tertanggal 16 Mei 1985 kepada PB HMI. Ada empat alasan yang melatar belakanginya yaitu :
1. Alasan Ideologis
Islam sebagai agama paripurna, selain memiliki sistem aqidah yang kokoh dan bersih, sekaligus memiliki sistem-sistem muamalah, sebagian tediri dari garis-garis besar saja-baik sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, militer maupun sistem keluarga. Dengan demikian sistem-sistemn yang ada dalam masyarakat tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum yng ada dalam Islam.
2. Latar Belakang Historis
Bahwa perjuangan memerdekakan Indonesia dari tangan penjajah kebanyakn dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam. Justru semangat teriakan Allahu Akbar-lah yang mampu membakar perlawanan-perlawanan di segala penjuru Indonesia. Boleh dikata Islamlah yang melakukan perelawanan dan mengusis penjajah. Oleh karena itu harus ada bagian dari bangsa ini yang selalu melakukan pembelaan terhadap ummat Islam.
Munculnya pancasila sebagai dasar negara merupakan kompromi tertinggi dari umat Islam demi kepentingan bangsanya. Pemimpin Islam pada awal pembentukan negara menerima pancasila karena :

1.
Pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1948 yang menghasilkan nama pancasila merupakan kompilasi dari pidato-pidato tokoh Islam sebelumnya.
2. Sila-sila dalam pancasila merupakan penjabaran dari al Qur'an mengenai sistem kenegaraan, jadi bukan hanya sekedar warisan leluhur bangsa Indonesia.
3. Pancasila hanyalah sebagai konsensus nasional, katakanlah sekedar kompromi nasional tentang atribut ketatanegaraan sehingga tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri urusan intern kelompok sosial-politik yang ada, apalagi sampai ke tingkat keluarga dan pribadi sebagaimana yang dilakukan pada penerapan UU ormas tersebut.
4. Diterimanya pancasila sebagai dasar negara karena pancasila yang diinginkan adalah sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Jakarta.

3. Latar Belakang Konstitusional
Dekrit presiden 5 Juli 1959 disahkan oleh MPRS pada tahun 1969 dan kemudian dikukuhkan lagi pada sidang MPR tahun 1972. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sukarno bahwa sila pertama dalam Piagam Jakarta Yang berbunyi : ..." Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", menjiwai pembukaan UUD ’45 yang kemudian manifes dalam pasal 29 menunjukan bahwa secara konstitusional negara membiarkan dan melindungi pelaksanaan syariat Islam termasuk penggunaan asas Islam dalam sebuah organisasi Islam. Hal ini berarti menjadikan pancasila sebagi asas tunggal bertentangan dengan pancasila itu sendiri.

4. Alasan Latar Belakang Operasional
Proses peneriman asas tungal yang dilakukan oleh PB HMI jelas melalui keputusan yang dilakukan oleh beberapa gelintir orang saja. Adanya tindakan-tindakan intimidasi, teror dan juga pembelian dengan uang menjadikan proses penggunaan asas tunggal oleh HMI tersebut menyalahi aturan.
Kita ketahui bahwa proses penerimaan itu tidak masuk akal dan cacat dalam hal mekanisme pemunculanya. Sebab sidang MPK dan pleno PB kedudukanya lebih rendah dari pada kongres HMI. Kongres HMI XV di Medan yang merekomendasikan untuk mempertahankan asas Islam telah dikhianati oleh PB sendiri dengan mengubahnya di tengah jalan tanpa melalui mekanisme yang sah. Adapun kemudian asas itu disahkan dalam kongres XVI di padang akan tetapi mekanisme penyelenggaraan kongres Padang tersebut juga mengalami kecacatan. Mayoritas cabang yang hadir waktu itu masih menghendaki HMI memepertahankan Islam sebagai asas. Akan tetapi apa boleh buat, tekanan dari penguasa dan diskrimatifnya peserta kongres menjadikan keputusanya lain.
VI. HMI Tahun 90-an : "Tumbangnya Suharto (Reformasi)"
Tahun 90-an bisa dikatakan merupakan tahun kemesraan antara kekuatan Islam dengan orde baru. Berdirinya ICMI oleh sebagian besar kalangan dianggap sebagai angin segar atas akomodasi Suharto terhadap Islam yang selama ini lebih banyak disingkirkanya. Kegiatan dakwah Islam dalam kantor-kantor birokrasi pemerintah mulai amarak. Berbondong-bongong pada tiap kantor pemerintah didirikan pengajian-pengajian dan majlis ta'lim. Perusahaan yang mendirikan pabrik di suatu lokasi diwajibkan mendirikan musholla untuk karyawannya. Masjid dibangun dimana-mana dengan bantuan yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, milik Suharto.
Akan tetapi keadaan ini bukan berarti orde baru telah berubah menjadi baik. Akomodasi penguasa terhadap kelompok Islam hanyalah salah satu cara untuk menutupi borok-borok penguasa dan memperoleh dukungan dari mayoritas penduduk. Kelompok-kelompok Islam yang independen dan kritis masih menjadi momok bagi penguasa. Demikian juga bagi HMI MPO, kebebasan merupakan hal yang paling mahal dan HMI MPO tetap sebagai organisasi bawah tanah harus memakai taktik kucing-kucingan dengan aparat untuk bertahan. Perjuangan HMI MPO untuk mempertahankan eksistensinya dilakukan dengan cara membentuk lembaga-lembaga kantong yang akan menjadi wadah-wadah bagi suara HMI MPO. Hal ini dilalukan karena tidak mungkin HMI MPO melakukan kritik secara langsung. Dibentuklah beberapa lembaga kantong aksi seperti : LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta), FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta), SEMMIKA dan sebagainya. Jika kita perhatikan strategi ini mirip dengan apa yang dilakukan HMI pada tahun 60-an dengan membentuk KAMI sebagai mantelnya.. Lembaga-lembaga ini melakukan mobilisasi massa dengan melakukan parlemen jalanan (demonstrasi) yang tak jarang bentrok dengan aparat.
Selain itu HMI MPO berusaha menguasai lembaga-lembaga intra kampus sebagai wadah perkaderan dan perjuangan. Lemahnya sumber daya finansial tidak menghentikan kreatifitas kader-kader HMI untuk berkativitas. Salah satunya ialah dengan memanfaatkan lembaga intra kampus ini. Lembaga intra kampus merupakan sarana perkaderan yang cukup efektif untuk membentuk jiwa-jiwa kepemimpian kader. Selain itu netralitas lembaga intra kampus menjadikan lembaga ini mudah untuk melakukan mobilisasi massa. Hal ini sangat mendukung dalam aksi-aksi HMI. Contoh konkret dari pemanfaatan lembaga intra kampus ini adalah pada saat memontum turunnya Suharto pada tanggal 20 Mei 1998.
Suharto yang sudah berkuasa selama 30 tahun harus tumbang ditangan aksi-aksi massa yang dilakukan oleh mahasiswa. Krisis ekonomi yang melanda Asia tahun 1997 ternyata berimbas pada terkuaknya semua borok yang dimiliki oleh rezim orde baru. Megahnya pembangunan yang selama ini sangat diagung-agungkan ternyata keropos, karena di bangun atas pondasi hutang luar negeri yang sangat besar. Ketika fluktuasi dollar tidak bisa ditolerir oleh kurs rupiah, tiba-tiba jumlah hutang melambung tinggi dan Indonesia harus menangis. Yang terhormat Suharto, terpaksa harus merunduk di depan lipatan tangan Hubert Neiss (wakil IMF-International Monetary Fund) ketika menandatangani kesepakatan baru dengan IMF. Para kapital-imperialis Amerika tertawa karena telah berhasil membuat Indoensia makin tergantung. Indonesia belum merdeka !
Mahasiswa bergerak, aksi demonstrasi menuntut diturunkannya Suharto menjalar mulai dari kampus-kampus besar sampai ke kampus-kampus kecil. Tak jarang korban berjatuhan di mana-mana. Kasus terbunuhnya beberapa mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998, tertembaknya Moses di Yogyakarta, dan tindakan-tindakan anarkis aparat terhadap mahasiswa semakin membuka kesadaran masyarkat luas untuk turut dalam aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa. Arus tak terbendung lagi ketika pada tanggal 20 Mei 1998 lebih dari satu juta massa melakukan aksi di silang monas dengan tuntutan “Suharto harus turun”. Demikian juga di alun-alun utara Yogyakarta, setengah juta massa berjubel sampai jalan Malioboro dengan tuntutan yang sama. Suharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 jam 09.15 WIB. Aksi juga dilakukan di Makasar, purwokerto, bandung, malang dan kota-kota lain.
Harus diakui bahwa fenomena munculnya aksi-aksi massa menjelang reformasi banyak dipeplopori oleh kader-kader HMI MPO. Beberapa kader yang kebetulan menjadi fungsionaris lembaga intra kampus turut mengusung isu-isu penurunan Suharto ke dalam kerja-kerja lembaganya. Aksi setengah juta massa di Yogyakarta di pelopori oleh Keluarga Mahasiswa (KM UGM) dimana think-tanknya kadr-kader HMI MPO. Sebelum aksi itu KM UGM mengadakan polling yang menghasilkan rekomendasi bahwa lebih dari 80% responden menolak kepemimpinan Suharto. Hasil polling ini mempengaruhi opini nasional, terutama di kalangan para aktivis pergerakan.
Di Jakarta juga demikian, meskipun banyak ditentang oleh elemn-elemen Islam lainya, HMI MPO bersama FKMIJ-nya tercatat sebagai elemen mahasiswa yang sejak awal melakukan aksi untuk menolak Suharto berkoalisi dengan elemen-elemen gerakan prodem (pro demokrasi). Bahkan setelah Suharto turun dan diganti oleh Habibie, HMI MPO tetap melakukan aksi-aksi penolakan digedung DPR/MPR bersama elemen-elemen yang di cap "kiri" tersebut. HMI MPO sempat di cap “bukan Islam” (bukan orang kita) oleh kelompok-kelompok aksi pembela Habibie (Pam Swakarsa) yang kebanyakan berasal dari kelompok-kelompok Islam. Oleh kelompok-kelompok politik Islam Habibie dianggap mewakili kepentingan Islam karena ia pelopor ICMI dan dekat dengan kalangan Islam.
Begitulah ketagasan sikap independen HMI yang tidak mau tunduk kepada siapapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan. HMI selalu siap bekerja sama dengan siapapun asalkan untuk meneriakan kebenaran dan keadilan. HMI Akan selalu kritis dengan siapapun tanpa pandang bulu, termasuk dengan saudaranya sendiri. Sikap HMI yang tidak mau didikte alumni (KAHMI), berlaku jujur pada siapapun, selalu berdiri diluar negara merupakan bukti indepndensi HMI MPO.
Demikianlah sejarah HMI dengan segala dinamikanya. Berbicara mengenai sejarah HMI, pada dasarnya juga membicarakan sejarah bangsa Indoensia. HMI merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dinamika bangsa yang sangat kita cintai ini. Usia HMI yang sebanding dengan umur Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah usia yang singkat. Dalam usianya yang lebih dari setengah abad, HMI telah menempuh asam-garamnya sejarah dan akan selalu setia mengukir sejarah itu lagi dimasa depan. Tentu dengan kisah-kisah perjuangan atas kebenaran dan keadilan yang lebih heroik. Siapa lagi kalau bukan generasi penerusnya !.
Pecahnya HMI menjadi HMI MPO dan HMI DIPO adalah bagian dari dinamika sejarah yang tidak harus disesali. Manusia hanya bisa melakukan penilaian sehingga dapat mengambil pelajaran (ibrah) darinya. Bagi kader-kader baru yang dibutuhkan bukanlah romantisme sejarah masa lalu, akan tetapi warisan semangat perjuangan dan independensi untuk berbuat yang terbaik bagi kemanusiaan. Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil aalamin !.
Referensi :
Al Mandari, S. 1999. HMI dan Wacana Revolusi Sosial. Pusat Studi Paradigma Ilmu (PSPI). Ujung Pandang
Aidit, D. N., dkk. 2001. PKI Korban Perang Dingin (Sejarah Peristiwa Madiun 1948). Era Publisher. Jakarta
Barton, G. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Paramadina. Jakarta.
Dahlan, M. M. 1999. Sosialisme Religius. Penerbit Kreasi Wacana. Yogyakarta
Grant, T. dan Woods, A. 2001. Melawan Imperialisme. Penerbit Sumbu. Jakarta
Halim, Z. 1990. HMI, Nasakom dan Pasca Gestapu. Makalah dalam buku putih : Dinamika Sejarah HMI. HMI Badko Jawa Bagian Tengah. Yogyakarta
Hehamahua, A. 1985. HMI Membunuh Diri Sendiri. Surat Abdullah Hehamahua pada PB HMI. Jakarta
Pratiknya, A. W. Pesan Perjuangan Seorang Bapak. Penerbit Dewan dakwah islamiyya Indonesia dan Lembaga Laboratorium. Jakarta
Ranuwiharjo, D. 1996. Catatan : Dahlan Ranuwiharjo, S.H. pada dies natalis HMI ke-43. Diterbitkan oleh PB HMI. Jakarta.
Roem, M. 1972. Bunga Rampai dari Sedjarah. Penerbit Bulan Bintang. Djakarta.
Sitompul, A. 1976. Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam tahun 1947-1975. Penerbit Bina Ilmu Offset. Surabaya.

Suharsono. 1998. HMI MPO dan Rekonstruksi Pemikiran Masa Depan. CIIS Press. Yogyakarta

Sundhaussen, U. 1986. Polilti Militer Indonesia 1945-1967. LP3ES. Jakarta
Tanja, V. 1978. HMI, Sejarah dan Kedudukanya di Tengah Gerakan-gerakan Muslim Pembaharu di Indoensia. Penerbit ‘sh’. Jakarta
Tuhuleley, S. 1990. HMI di Mata Seorang Praktisi (Mahasiswa) 77-78 : Sebuah Upaya Permakluman. Makalah dalam buku putih : Dinamika Sejarah HMI. HMI Badko Jawa Bagian Tengah. Yogyakarta

By : M. Chozin

2 comments:

Anonymous said...

Koreksi dari saya:

FOSI bukan singkatan dari Forum Silaturrahmi Indonesia, melainkan
FORUM STUDI ISLAM.

www.ambudaya.blogspot.com said...

Terimakasih atas koreksinya, sudah saya koreksi