Bergerak ibarat Ombak
Menawan umpama Awan"
Mukaddimah
Tulisan ini hanyalah sekedar refleksi tentang kegamangan warga Himpunan akan cita-cita besarnya. Terma ulil albab yang kian hari kian memudar bahkan kian jauh dari sejatinya asa Himpunan menandakan bahwa tema-tema manusia besar (the Great man) harus kembali digaungkan di warga Himpunan, sehingga kita tidak kehilangan orientasi, baik dalam menata perkaderan maupun menapak arah perjuangan.
Tema di atas senyatanya adalah penggalan habituasi perkaderan dalam tubuh HMI secara ideal. Triumvirat tak lebih dari trilogi gerak dari sebuah edisi panjang akan pergulatan pemikiran-pengalaman spiritualitas dan pergerakan aksi. Goresan puisi di atas "Merenung bagai Gunung" mengisyaratkan betapa dalam setiap gerak, syarat awalnya adalah perenungan, refleksi dengan inteleksi yang tajam akan arah gerak sejarah menembus batas esensi eksistensi hidup itu sendiri. Itulah sebuah napak tilas perenungan ke puncak gunung pencerahan. Pergulatan pemikiran di tubuh Himpunan memang menjadi basis kita sebagai mahasiswa yang senjatanya tidak lain dari "intelektual power" itu sendiri.
"Bergerak ibarat Ombak" adalah sebuah filosofi hidup dari proses perjuangan yang tak kenal mati, bara jihad yang terus menyala, "Aku ada karena aku bergerak, jika kuberhenti aku pun mati" adalah gambaran eksistensi diri, dan identitas diri yang menjadi penentu hidup matinya sebuah keyakinan dan jihad. Dengan segudang pemikiran yang kita geluti hendaknya kita mampu untuk memafhumi pasang surut gelombang yang menggiring sabit-purnanya sang rembulan, sebuah simbol kejayaan umat Islam. Ombak adalah simbol pergerakan, kita bukanlah pantai yang diam. Wujud dan maujudnya adalah pergerakan.
"Menawan umpama Awan" adalah letupan makrifat dan puncak tujuan eksistensi yaitu kerinduan akan wajah keabadian-Nya. Spiritualitas adalah jalan setapak cinta menuju Wujud Yang Sejati. Awan simbol keteduhan iman, ketinggian wawasan, dan ketulusan niat.
Persenyawaan pemikiran-pergerakan dan spiritualitas yang secuil diungkap di atas adalah trilogi yang tidak bisa kita bendung jika kita ingin disebut warga Himpunan.
Cita-cita Besar Himpunan; Transfigurasi dan Transformasi
HMI mendeklarasikan dirinya membentuk insan paripurna (ulil albab) lewat proses transfiguration (penjelmaan karakter ulil albab) dengan jalan perkaderan (AD HMI tentang fungsi organisasi) dan membentuk masyarakat mardhotillah lewat proses transformation (perubahan masyarakat menuju baldatun thoyyibatun wa Robbun Ghofur) lewat jalan perjuangan (AD HMI tentang peran organisasi). HMI sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan sudah semestinya memperkuat Character building dan bukannya terjebak pada sekedar image building. Tema manusia besar (baca: ulil albab) harus menjadi anak panah perubahan yang meniscayakan daya dobrak gerakan kita. Karakter insan ulil albab, yaitu yang memiliki pemikiran (mind) yang luas, perasaan (heart) yang peka, daya pikir (intellect) yang tajam, wawasan (insight) yang mendalam, pengertian (understanding) yang tepat, dan kebijaksanaan (wisdom) dengan pertimbangan-pertimbangan yang terbuka dan adil harus betul-betul menjadi identitas dan karakter kader HMI.
Ikhtiar HMI yang mengusung sosok insan paripurna (ulil albab) yang diidentifikasi sebagai insan mu'abbid, mujahid, mujtahid dan mujaddid (AD HMI pasal 6). Empat karakter ini mirip dengan empat pengembaraan intelektual-spiritualnya (al-asfar al-arba'ah)-nya Mulla Shadra. Pengembaraan pertama menurut Mulla Shadra dalam magnum opus-nya al-Hikmah al-Muta'aliyah fi al-Asfar al-Aqliyah al-Arba'ah, adalah perjalanan dari makhluk menuju Allah (min al-Khalq ila al-Haqq). Pada tingkat ini, si pengembara berusaha lepas dari alam agar dapat mencapai Esensi Ilahi, membuka semua hijab antara dirinya dengan Allah. Seorang mu'abbid adalah seorang yang menapak-tilasi jalan menuju ma'rifah dan musyahadah kepada Allah.
Kedua, perjalanan dalam Allah bersama Allah (fi al-Haqq ma'a al-Haqq). Setelah si pengembara mencapai pengetahuan terdekat dengan Tuhan, dengan bantuan-Nya si pengembara berjalan melalui keadaan-keadaan-Nya, nama-nama-Nya, kesempurnaan-kesempurnaan-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Untuk memapah langkah kedua ini dibutuhkan sosok mujahid, yaitu orang yang bersungguh-sungguh dalam meneladani sifat-sifat allah, seperti kebenaran, kebaikan, keadilan dsb. Sebagai manifestasi dari takhallaqu bi akhlaqillah.
Ketiga, perjalanan dari Allah menuju makhluk bersama Allah (min al-Haqq ila al-Khalq ma'a al-Haqq). Dalam perjalanan ini si pengembara kembali ke dunia makhluk dan bergabung dengan manusia lain. Tetapi kepulangan ini tidak berarti keterpisahan dan kejatuhannya dari Esensi Ilahi. Sebaliknya, si pengembara dapat melihat Esensi Ilahi bersama segala sesuatu dibalik segala sesuatu. Untuk melihat ini dibutuhkan seorang mujtahid, yaitu orang yang selalu mengerahkan segala kreatifitas intelektualnya dalam rangka menyibak otentisitas kebenaran.
Keempat, perjalanan dalam makhluk bersama Allah (fi al-Khalq ma'a al-Haqq). Dalam perjalanan ini, sipengembara bertanggung jawab membimbing manusia dan mengarahkan mereka kepada kebenaran. Inilah konsep mujaddid, yaitu insan pembaharu sebagai tongkat penuntun dan penunjuk umat manusia.
Dari pengertian di atas, kita melihat bahwa meyakini Allah sebagai Maha Adil berkelindan dengan menginternalisasikan nama-nama, sifat-sifat, kesempurnaan-kesempurnaan Tuhan dalam dirinya dan menegakkannya dalam realitas kemanusiaan. Artinya untuk terjun dalam realitas insaniyah perlu mengantongi idealitas ilahiyah. Dan idealitas ilahiyah ini akan menjadi mimpi jika tidak terejawantahkan dalam realitas kemanusiaan. Proses eksternalisasi ini membutuhkan perjuangan bahkan pengorbanan. Dari sinilah kemudian muncul istilah mujahid revolusioner, yaitu orang yang dengan penuh kesungguhan menginternalisasikan sifat-sifat Tuhan dengan kesungguhan dalam dirinya dan sekaligus mengeksternalisasikannya dalam problematika keumatan.
Dengan demikian insan paripurna menurut tafsir HMI adalah orang yang memiliki ruh pergerakan - atau dalam istilah Shadra 'ruh pengembaraan - baik pengembaraan menaik ke tuhan, menurun ke manusia dan mendatar ke alam realitas. Inilah yang di awal tulisan ini disebut sebagai triumvirat yaitu sebuah pergerakan dalam tiga ranah dan tiga arah. Tiga ranah adalah ranah inteleksi, religi dan aksi atau pergulatan pemikiran-pengalaman spiritualitas dan pergerakan aksi serta tiga arah yaitu menaik ke Tuhan, menurun ke manusia dan mendatar ke alam realitas.
Kedua Keadaannya yang selalu bergerak disimpulkan oleh Muhammad Iqbal dengan manis bahwa "Aku ada karena aku bergerak, bila kuberhenti akupun mati". Manusia dalam pandangan Iqbal adalah ombak yang selalu bergerak dan bukan pantai yang diam. Wujud dan maujudnya adalah pergerakan. Karena 'kehidupan yang sesungguhnya adalah keyakinan dan jihad'.
Tugas insan paripurna dengan demikian bukan hanya untuk memahami dunia melainkan untuk merubah dunia menjadi bayang-bayang surga. Oleh karena itu Iqbal dalam pengatar bukunya the Rekonstruction of Religious Thought in Islam, mengatakan bahwa al-Qur'an lebih mengutamakan 'amal' ketimbang 'gagasan'. Karena gagasan selamanya akan terbelenggu dan terpenjara selama ia belum menjadi aksi nyata. Secara cantik Iqbal memberikan indikator keimanan seseorang dengan perkatannya: "tanda seorang kafir adalah ia larut dalam cakrawala dan tanda seorang mukmin adalah bahwa cakrawala larut dalam dirinya". (Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur'an, 1996, hal. 33). Artinya seseorang yang sudah mematrikan iman ke dalam lubuk hatinya ia tidak akan larut dan luluh dalam kemelut kemanusiaan, melainkan ia tampil sebagai ego yang merdeka, merekayasa alam semesta dengan petunjuk Tuhan sebagai ego Terakhir. Iqbal meyakini bahwa jika manusia tidak mengambil inisiatif perubahan atau tidak menjelma sebagai insan paripurna maka ruhnya akan membeku seperti batu dan tidak bisa menghasilkan secuil pun kreatifitas kebaikan.
Ulil Albab Tidak Menjadikan Agama Sebagai Opium
Agama bagi seorang ulil albab tidak boleh menjadi opium dan pembius bagi individu dan masyarakat. Ia justru harus menjadi faktor revolusioner. Menurut Roger Garaudy seorang filosof Muslim asal prancis, ada tiga kondisi dimana agama bisa menjadi opium dan faktor pembius bagi individu dan masyarakat. Yang pertama. Kondisi ketika orang beragama percaya bahwa jalan tuhan menghendaki untuk lari dari problem-problem kehidupan dan konflik-konflik sejarah. Tuhan seperti ini adalah Tuhan yang dingin yang mengajak untuk menjauhi alam inderawi, tidak menanamkan kehangatan dalam diri dan tidak pula mendorong untuk berbuat dalam sejarah.
Yang kedua, kondisi ketika manusia mencari Tuhan dalam keadaan lemah, bodoh dan tertindas. Tuhan hanya menjadi muara takdir keburukan dan kegagalan. Ia bahkan menjadi palu godam untuk menghakimi penemuan dan kemajuan ilmu pengetahuan manusia. Tuhan seperti ini muncul dalam terminologi Kristen ketika gereja mengambil peran dalam penetapan hasil ilmu pengetahuan. Galileo adalah sebuah contoh kasus. Tuhan ini adalah Tuhan yang menjilat ludahnya kembali pada setiap kali ada penemuan ilmiah dan kemajuan kemanusiaan.
Ketiga, kondisi ketika ia mengambil bentuk ideologi atau aliran resmi. Tuhan pembuat undang-undang dalam bentuk raja pemberang dan kaisar penindas, karena tuhan seperti ini adalah Tuhan yang selalu berdiri disamping kekuasaan penindas seolah-olah kebaikan dan kebenaran selalu memihak kepada kelas yang berkuasa dan memerintah.
Agar agama tidak menjadi opium, seorang insan paripurna dalam proses berteologi harus berusaha keluar dari beban teologis masa lalu tanpa reserve. Teologinya harus memperhatikan sisi reabilitas, idealitas dan fleksibilitas. Aspek reabilitas teologis yang dikehendaki abad ini adalah teologi yang bercorak kritis, kreatif, emansipatorik, liberal dan transformatif. Sedangkan teologi skolastik hanya dijadikan 'fosil budaya' masa lalu dan melakukan passing over dari melulu iman deduktif (deductive faith) ke iman induktif (inductive faith).
Ulil Albab Menjadikan Agama Sebagai Pembebasan
Agama pembebasan adalah agama yang kontradiksi dari agama opium. Karena itu jika agama dijadikan sebagai alat perubahan, maka ia harus dijadikan senjata yang ampuh bagi kelompok masyarakat yang dieksploitasi (Asghar Ali Engineer, Islam dan teologi pembebasan, 1999, hal. 2-3). Teologi pembebasan memeainkan peranan dalam membela kelompok yang tertindas dan tercerabut hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingan kelompok ini dan membekalinya dengan senjata ideologi yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya. Jadi stressing teologi pembebasan menurut Asghar adalah pada praksis dari pada teoritisasi metafisika yang bersifat liberatifdan menyangkut interaksi dialektis antara 'apa yang ada' (is) dan 'apa yang seharusnya' (ought) (Ibid. Hal. 8).
Agama merupakan the inner dimention of man yang paling asasi, dan paling berperan dalam memotivasi bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Disinilah signifikansi agama sebagai elan vital pembebasan (force liberation) terhadap kaum yang tertindas atau dalam istilah al-Qur'an orang mustadh'afin. Ali Syari'ati mengatakan bahwa visi profetis agama adalah populisme (membela rakyat kecil), sehingga tidak salah kalau islam disebut-sebut sebagai agama kaum mustadh'afin atau agama yang memihak pada kaum lemah (miskin, terbelakang, tertindas).
Agama supaya tidak dikebumikan, ia haruslah membumi. Dalam artian bahwa misi keberpijakannya pada realitas dan keberpihakannya pada yang lemah dan tertindas bukan sekedar khotbah (ortodoksi) melainkan lebih bersifat ortopraksis. Dari sinilah terlaetak arti penting 'kewajiban menegakkan keadilan' yang betul-betul konkret. Yakni keterlibatan serius bersama masyarakat yang dhu'afa dalam usaha menegakkan keadilan.
Kemiskinan keterbelakangan dan kemunduran umat sebenarnya bukan karena etos sosial dan etos kerja mereka rendah. Bukan pula karena mereka memang mempunyai budaya miskin (the culture of poverty) - sebagaimana yang disinyalir oleh Oscar Lewis. Melainkan kemiskinan muncul pada mereka akibat ketidakadilan sosial yang terwujud dalam struktur-struktur sosial yang tidak adil, yang tidak memperhitungkan mereka sebagai subyek yang terlibat dalam sejarah sosial dan ekonomi. Sebagaimana pendapat almarhum Mansour Faqih bahwa kemiskinan lebih sebagai akibat ketiakadilan hubungan antara dunia maju dan dunia ketiga, yang berwatak imperialisme pada tingkat global, dan bentuk-bentuk eksploitasi serta hubungan yang tidak adil pada tingkat lokal, yang dijalankan melalui hubungan dan cara produksi yang menghisap (Mansour Faqih: Mencari Teologi untuk Kaum Tertindas, 165;tt).
Fenomena kemiskinan dilihat sebagai akibat dari konflik struktural di dalam tatanan sosial yang ada. Seorang insan paripurna harus melakukan proses transformasi, yaitu mentransformasikan struktur-struktur sosial kemsayarakatan yang menindas, ke arah struktur sosial yang lebih fungsional dan humanis, demi perealisasian martabat manusia. Usaha membuka jalan ke arah proses transformasi ini tiada lain adalah sebuah komitmen kita terhadap mereka yang tertindas, untuk bersama-sama mengusahakan pembebasan.
Ulil Albab Menjadikan Wahyu Sebagai Revolusi
Ziaul Haque - seorang pemikir Islam asal pakistan - melukiskan bagaimana al-Qur'an secara indah menggambarkan tentang peran revolusioner wahyu, yaitu dengan perumpamaan hidupnya tanah yang kering karena disiram air hujan. Demikian juga dengan wahyu, ia akan menghidupkan kembali tatanan sosial yang telah 'mati' secara moral dan sosial. Oleh karena itu menurut zia, revolusi sosial juga memiliki peran sebuah wahyu, bahkan lebih dari itu wahyu adalah revolusi dan revolusi tidak lain adalah wahyu. (Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, 2000, hal. 5).
Wahyu tidak lain adalah 'nafas' yang dihembuskan pada pikiran dan jiwa, sedangkan revolusi merupakan perubahan menyeluruh terhadap tatanan dan pola pikir masyarakat yang mandek. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Revolusi tanpa bimbingan wahyu hanyalah berwujud perubahan tak bermakna, sedangkan wahyu tanpa revolusi hanya sekedar retorika belaka.
Kalau memang wahyu adalah revolusi maka pastilah nabi juga seorang yang revolusioner. Setiap nabi membawa dua peran sekaligus, yaitu sebagai seorang nabi yang menerima wahyu dan perang seorang revolusioner atau pemberontak. Dengan wahyu yang dibawanya ia mampu mengadakan perubahan yang mendasar terhadap realitas dan korup dan diskriminatif. Dan selanjutnya di bawah pancaran wahyu Ilahi, sang nabi membangkitkan masyarakat yang mati secara moral dan sosial seperti hujan yang memberikan kehidupan pada tanah yang gersang.dengan merujuk pada al-Qur'an, Zia berpendapat bahwa semua nabi memiliki tiga misi yang sama yaitu: pertama, untuk menyatakan kebenaran, kedua, emansipasi bagi orang-orang yang lemah dan tertindas, untuk berperang melawan kepalsuan dan penindasan dan ketiga, menciptakan komunitas yang berdasarkan pada kesetaraan sosial, keadilan, dan persaudaraan dan terbebas dari belenggu-belenggu penghisapan dan penindasan. (ibid, hal. 33). Pendek kata raison d'etre kenabian adalah bersifat iluminatif (menerangi). Liberatif (membebaskan) dan transformatif (mengubah).
Fungsi menerangi dari kenabian adalah sebagai petunjuk jalan kebanaran dan penyulut bara optimisme bagi pergumulan hidup manusia. Dan fungsi membebaskan, adalah ajaran yang dibawanya tidak hanya berisi ajaran semata, melainkan juga tindakan nyata. Sedangkan fungsi mengubah, adalah memberdayakan manusia menuju tatanan masyarakat yang setara dan adil. Di sinilah terlihat keberpijakan dan keberpihakan peran para nabi. Ia diutsu bukan tanpa sebab. Ia menyapa umat manusia untuk mengangkat martabatnya dan datang dengan misi pembebasannya terhadap orang-orang tertindas.
Semua nabi tampil sebagai pejuang di tengah-tengah masyarakatnya yang berbeda-beda. Adam sebagai pejuang terhadap kebodohan dan kezaliman, Nuh sebagai garda terdepan bagi kaum miskin, Hud penentang orang-orang arogan, saleh sebagai pioner kesetaraan sosial, Ibrahim sebagai orang yang vokal menyuarakan kebenaran dan keadilan, Yusuf sebagai seorang yang tetap bertahan dalam kekuarangan, syu'aib sebagai penentang ketidakadilan ekonomi.
Selain itu tiga revolusioner terakhir; Musa sebagai nabi pembebas kaum budak, Isa seagai nabi yang memimpin kaum lemah, dan Muhammad sebagai pahlawan yang mengangkat derajat wanita dan kaum budak. Inlah pijakan historis bagaimana setiap zaman merindukan seorang revolusioner untuk membebaskan kaum tertindas. Walaupun kenabian telah berakhir, tetapi Tuhan masih mewahyukan kebenaran, tapi bukan melalui agama melainkan melalui pengetahuan. Sehingga para revolusioner yang berpijak dan berpihak pada kebenaran, keadilan, kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan dan kasih sayang serta memerdekakan kelas-kelas yang terhisap dan tertindas adalah pewaris para nabi (waratsatul anbiya').
By : Buddy
No comments:
Post a Comment